Komnas Perempuan Tolak Keras Soeharto Pahlawan: Langgar UU HAM
JAKARTA, PODIUMNEWS.com - Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua RI Soeharto memicu penolakan keras dari Komisi Nasional anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) di Hari Pahlawan.
Seperti dilansir dalam siaran pers laman resmi Komnas Perempuan pada Senin (10/11/2025), lembaga tersebut menegaskan posisi keberatan, menilai bahwa upaya tersebut tidak hanya mengabaikan fakta sejarah pelanggaran HAM berat Orde Baru, tetapi juga secara hukum melanggar kriteria Pahlawan Nasional yang telah ditetapkan.
Dianggap Melanggar Kriteria Hukum
Komnas Perempuan secara eksplisit mendasarkan penolakannya pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Aturan tersebut mensyaratkan calon Pahlawan Nasional harus "tidak pernah melakukan perbuatan tercela."
Wakil Ketua Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, secara tegas menyatakan bahwa fakta sejarah yang didukung oleh dokumentasi resmi lembaga HAM nasional menempatkan Soeharto dalam posisi yang bertentangan dengan kriteria tersebut.
"Usulan pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional merupakan pengingkaran terhadap fakta sejarah yang telah didokumentasikan dalam berbagai laporan resmi lembaga HAM Nasional," ujar Dahlia Madanih dalam siaran pers tersebut. "Fakta sejarah menunjukkan bahwa masa kekuasaan Soeharto diduga kuat bertanggung jawab atas berbagai peristiwa pelanggaran HAM dan pembungkapan kebebasan berekspresi.
Melanggengkan Impunitas dan Reviktimisasi
Siaran pers tersebut juga menyoroti dampak langsung pemberian gelar, yaitu mengancam memori kolektif bangsa, melanggengkan impunitas, dan mengingkari perjuangan para korban dan penyintas.
Menurut Komnas Perempuan, dokumentasi resmi seperti laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998 yang mencatat setidaknya 85 kasus kekerasan seksual, dan lima laporan KPP HAM yang dibentuk Komnas HAM, menjadi bukti kuat bahwa kekerasan tersebut merupakan bagian dari kebijakan dan praktik kekuasaan yang sistematis selama Orde Baru.
Komnas Perempuan memperingatkan, pemberian gelar ini adalah bentuk reviktimisasi bagi para penyintas yang masih menanggung beban psikologis, sosial, dan politik hingga hari ini.
Seruan Mendesak Komnas Perempuan
Oleh karenanya, Komnas Perempuan menyerukan agar Negara menindaklanjuti rekomendasi lembaga resmi seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, LPSK, dan Lembaga HAM lainnya dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, termasuk pemulihan korban perempuan.
Selain itu, lembaga pendidikan dan media massa didorong untuk menjaga integritas sejarah dengan menolak narasi pemutihan terhadap fakta sejarah pelanggaran HAM.
Terakhir, Komnas Perempuan juga menyeru masyarakat sipil, akademisi, dan generasi muda untuk memperkuat literasi sejarah, menolak lupa, dan terus memperjuangkan keadilan dan kesetaraan.
(riki/sukadana)