Andreas Hugo Kritik Gelar Pahlawan untuk Soeharto, Soroti Catatan Pelanggaran HAM
JAKARTA, PODIUMNEWS.com - Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Andreas Hugo Pareira mengkritik rencana pemerintah yang akan menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto. Ia menilai keputusan itu harus ditempatkan dalam kerangka objektivitas moral dan etik bernegara, mengingat catatan pelanggaran hak asasi manusia di masa Orde Baru.
“Keputusan yang menyangkut figur publik dengan catatan sejarah pelanggaran HAM seperti Soeharto harus ditempatkan dalam kerangka objektivitas moral dan etik bernegara demi menjaga harkat dan martabat pendidikan kebangsaan,” ujar Andreas dalam keterangan pers, Senin 10 November 2025.
Presiden Prabowo Subianto mengumumkan sepuluh tokoh penerima gelar Pahlawan Nasional pada peringatan Hari Pahlawan. Dari total 49 usulan, tercantum nama Soeharto, aktivis buruh Marsinah, serta Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid.
Andreas menegaskan proses penetapan gelar harus transparan, inklusif, dan berlandaskan kriteria objektif yang diatur undang-undang. “Masyarakat berhak mengetahui bagaimana sebuah nama diajukan, apa kontribusi yang menjadi dasar pengakuan, dan sejauh mana peran tersebut memberi manfaat berkelanjutan bagi bangsa,” katanya.
Ia mengingatkan pemerintah agar memastikan proses penetapan gelar tidak menimbulkan tafsir politis. “Jangan sampai pemberian gelar hanya demi kepentingan politik atau kelompok tertentu karena akan mencederai rasa keadilan,” tambah Legislator dari Dapil NTT I itu.
Andreas kemudian menyinggung deretan kasus pelanggaran HAM yang selama ini ditudingkan kepada Soeharto, mulai dari peristiwa 1965–1966, Tanjung Priok, Talangsari, kebijakan penembakan misterius, DOM Aceh dan Papua, hingga Trisakti dan kerusuhan Mei 1998. Menurutnya, catatan tersebut harus menjadi pertimbangan moral ketika negara menetapkan status kepahlawanan.
“Pahlawan Nasional bukan sekadar gelar, tetapi cermin nilai dan arah moral bangsa,” tegasnya. Ia menyebut penghargaan negara harus memperkuat rekonsiliasi dan pembelajaran sejarah bagi generasi muda, bukan membuka luka lama.
Ia juga menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat sipil dan akademisi dalam proses seleksi. “Setiap nama harus melalui verifikasi dokumenter, telaah akademik, serta uji publik agar benar-benar mencerminkan kehendak kolektif bangsa,” ujarnya.
Andreas mengatakan DPR akan menjalankan fungsi pengawasan terkait kebijakan penghargaan negara. “Pemberian gelar pahlawan harus menyatukan semangat bangsa, bukan membelahnya. Pahlawan sejati adalah mereka yang memberi inspirasi moral untuk masa depan Indonesia yang adil dan berdaulat,” tutupnya.
(riki/sukadana)