Gelap Nama Pahlawan
TIDAK pernah mudah menakar kata pahlawan. Kata itu seperti cermin yang hanya memantulkan wajah jujur, bukan bayang-bayang yang diseret oleh kepentingan. Ketika nama Presiden Soeharto kembali diusulkan sebagai Pahlawan Nasional, cermin itu retak oleh riwayat panjang kekuasaan yang tidak sepenuhnya terang.
Soeharto adalah bagian besar dari sejarah negeri ini. Ia membawa stabilitas, membuka pintu pembangunan, dan menata ulang arah ekonomi. Namun jejak langkah manusia tidak pernah tunggal. Di sisi lain cahayanya, hidup catatan pelanggaran HAM, pembungkaman kebebasan sipil, korupsi yang merajalela, serta sejarah panjang yang masih menyisakan luka di banyak keluarga Indonesia. Mengabaikan babak gelap itu sama saja dengan menghapus para korban dari buku sejarah bangsa.
Gelar pahlawan seharusnya tidak lahir dari perasaan nostalgia, apalagi dari ingatan yang memilih yang enak dan menyingkirkan yang perih. Pahlawan bukan hanya soal hasil, tetapi juga cara. Bukan hanya soal perubahan, tetapi juga tentang penghormatan pada martabat manusia.
Bangsa ini perlu keberanian untuk menimbang masa lalu dengan kepala dingin. Kita tidak harus membenci Soeharto untuk mengakui kekeliruannya, sama seperti kita tidak harus mencintainya untuk menghargai bagian baik dari masa pemerintahannya. Yang kita perlukan adalah kejujuran, agar generasi mendatang tidak tumbuh dalam sejarah yang dipoles, tetapi sejarah yang apa adanya.
Mengusulkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional tanpa menuntaskan persoalan kemanusiaan di masa Orde Baru membawa risiko besar. Ini bukan hanya soal gelar, tetapi sinyal moral negara: apakah kita memuliakan stabilitas yang dibangun dengan represi, atau kita memilih teguh pada nilai kemanusiaan yang menjadi dasar republik.
Bangsa yang ingin maju harus berani menatap seluruh wajah sejarahnya: yang terang dan yang gelap. Sebab pahlawan sejati tidak pernah lahir dari penghakiman yang terburu-buru, melainkan dari nurani kolektif yang jernih. Nurani itu kini sedang diuji, dan kita harus memutuskannya dengan kejernihan, bukan keinginan untuk melupakan. (*)