Ketua Pansus TRAP Bongkar Sindikat Sertifikat Mangrove
DENPASAR, PODIUMNEWS.com — Ketua Panitia Khusus Tata Ruang, Aset dan Perizinan (TRAP) DPRD Bali, Made Suparta, menyuarakan peringatan keras. Ia menyebut telah terjadi pelanggaran berat terhadap lingkungan dan hukum agraria di Provinsi Bali, setelah terungkap 106 sertifikat hak milik (SHM) terbit di kawasan lindung mangrove Tahura Ngurah Rai.
Dalam rapat kerja pada Selasa (23/9/2025) di Kantor DPRD Bali, Denpasar bersama BPN Badung, BPN Denpasar, BWS Bali Penida, perwakilan Tahura, serta OPD terkait, Suparta menyatakan indikasi kuat adanya praktik mafia tanah yang menyerobot kawasan konservasi.
“Dugaan permainan mafia tanah yang mengincar area mangrove dan Tahura sudah jelas terlihat. Seratus enam sertifikat sudah terbit, jadi harus dibongkar dan dipenjarakan. Ini kejahatan luar biasa yang mengancam masa depan Bali,” tegas Suparta.
Politisi asal Tabanan ini menjelaskan, lahan mangrove yang memiliki nilai strategis di pinggir Bypass Ngurah Rai menjadi incaran sindikat. Modusnya, permohonan sertifikat diajukan secara bertahap, kemudian dialihkan kepada pihak lain dengan nilai jauh lebih tinggi.
“Ini sudah seperti sindikat. Melibatkan banyak kalangan, sampai oknum pemerintah. Bahkan ini akan terus terjadi jika tidak ada efek jera sampai ke penjara,” ungkapnya.
Suparta mempertanyakan dasar hukum BPN menerbitkan sertifikat di kawasan konservasi yang seharusnya dilindungi UU. Menurutnya, penerbitan SHM tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
“Lahan mangrove jelas masuk kawasan konservasi. Tidak boleh beralih fungsi, tidak boleh dipotong, dan tidak boleh diuruk. Ancaman pidananya sampai 10 tahun penjara dan denda Rp2 miliar. Jadi harus dibongkar dan para pemainnya masuk penjara,” ucap Suparta, yang juga advokat senior.
Dalam rapat, Kepala Kanwil BPN Bali mengakui adanya 106 SHM yang telah terbit di kawasan mangrove. Namun, BPN belum dapat memastikan total luasan lahan tersebut. Suparta menilai hal ini janggal, mengingat proses sertifikasi seharusnya melalui pengukuran dan verifikasi lapangan yang jelas.
“Tanah mangrove itu tiba-tiba bersertifikat dan bahkan sudah ada usaha asing yang berdiri di atasnya. Ini tidak bisa dibiarkan. Tanah yang dilindungi negara masa bisa berubah jadi hak milik pribadi,” ujarnya.
Ia juga mengungkap kasus PT Greenblocks Sustainable Building, milik pengusaha asing asal Rusia, yang menggunakan lahan mangrove bersertifikat untuk usaha komersial. Suparta menilai hal itu bentuk perampasan ruang kelola negara dan pelanggaran berat terhadap kearifan lokal Bali.
“Ini bukan tanah biasa. Ini resapan air. Sabuk hijau. Penyangga ekosistem Bali. Lahan seperti ini tidak boleh diperjualbelikan,” tegasnya.
Suparta memastikan, Pansus TRAP akan terus mengusut pihak yang terlibat, mulai dari pemohon awal, pembeli (penadah), hingga aktor intelektual dan oknum pemerintah.
“Siapa pemain lapangan, siapa yang menadah lahan, siapa aktor intelektual, siapa unsur pemerintah yang bermain, wajib diberikan ganjaran hukum. Semua harus terbuka,” tegasnya.
Ia meminta agar tidak ada izin baru yang diterbitkan di atas 106 SHM tersebut dan mendorong agar lahan dikembalikan fungsinya menjadi sabuk hijau (green belt).
“Agar kembali berfungsi menjadi kawasan resapan air dan benteng lingkungan. Kita tidak mau Bali hanya jadi pulau beton yang rusak dan tenggelam oleh ulah mafia,” ujar Suparta.
Pansus berencana memanggil sejumlah pihak terkait termasuk manajemen Mal Bali Galeria, yang juga disebut berdiri di atas sungai dan kawasan konservasi.
“Tidak ada yang kebal hukum. Semua pelanggaran tata ruang, aset, dan perizinan akan kami tuntaskan satu per satu,” tutup Suparta.
(sukadana)