Menulis Setelah Melewati Badai
ADA waktu dalam hidup ketika langkah terasa lebih berat bukan karena jarak yang ditempuh, tetapi karena beban yang disandang. Tahun 2024 berjalan seperti itu bagi saya. Hari-harinya panjang, sunyi, dan dipenuhi kecemasan yang muncul dari kemungkinan usaha yang runtuh. Di awal 2025, keadaan belum banyak berubah. Yang ada hanya upaya menambal apa yang pecah, mengurus apa yang tersisa, dan berharap agar angka minus perlahan menemukan titik baliknya. Dalam kesunyian hari-hari itu, saya teringat pada sebuah bab lama yang pernah saya lalui tujuh tahun sebelumnya.
Tahun 2017 hadir sebagai pengingat bahwa kehilangan bisa terjadi tiba-tiba. Pekerjaan hilang, pegangan lepas, dan cadangan yang diharapkan tidak ada. Saya berjalan dengan kantong kosong, tetapi tidak seluruhnya sendiri. Pada masa itu, orang-orang baik datang tanpa saya minta. Mereka memberi ruang, mengulurkan kesempatan, dan menuntun saya ke tempat yang lebih terang. Mereka tidak tahu seberapa rapuh keadaan saya, namun justru dari ketidaktahuan itulah kebaikan mereka terasa murni. Sampai hari ini, saya menyimpan ucapan syukur yang dalam untuk mereka. Saya sering mengatakan bahwa jasa itu tidak akan saya lupakan, dan jika suatu hari saya mampu membalasnya, akan saya lakukan dengan cara yang paling mungkin.
Kenangan itulah yang menjadi pagar ketika badai 2024 datang menghantam. Ketika beberapa teman menyarankan agar saya meminta bantuan dari koneksi yang saya kenal, saya memilih untuk tidak melakukannya. Ada usia yang menuntut seseorang untuk menjaga integritasnya. Ada waktu ketika menumpuk utang budi justru terasa lebih berat daripada beban krisis itu sendiri. Maka saya memilih menempuh jalan yang lebih sepi, jalan yang mungkin lebih terjal, tetapi membuat saya merasa jujur terhadap diri sendiri.
Setelah berdiskusi dengan kakak, saya merelakan untuk menjual sebagian kecil lahan warisan. Bukan untuk mengejar keuntungan, melainkan untuk merapikan kewajiban dan memulai ulang dari titik yang lebih bersih. Dari sisa penjualan 1,5 are tanah orang tua, saya menanam benih baru bagi usaha yang sedang saya bangun. Pada saat yang sama, muncul tawaran miliaran rupiah untuk menjual lahan yang lebih luas. Tawaran yang dapat mengakhiri krisis dalam sekali langkah. Namun hati saya memilih untuk menolak halus. Ada batas yang tidak ingin saya langkahi. Ada filosofi merasa cukup yang justru semakin saya hargai di usia memasuki lima puluhan ini.
Saya sadar bahwa semua ini bermula dari ketergantungan pada satu sumber pendapatan. Dunia media digital bergerak terlalu cepat untuk dihadapi dengan satu tumpuan saja. Dari pemahaman itu lahirlah gagasan Podium Ecosystem, sebuah ikhtiar untuk memperluas jalur agar satu keretakan tidak meruntuhkan seluruh bangunan. Ini adalah bentuk belajar dari masa lalu, sekaligus persiapan menghadapi masa depan dengan lebih bijak.
Badai yang datang mendadak itu akhirnya berlalu lebih cepat dari yang saya bayangkan. Ia meninggalkan bekas, tetapi juga membawa makna. Saya bersyukur dapat melewatinya tanpa harus merugikan siapa pun, dan tetap menyisakan ruang untuk berkarya. Lalu seperti menemukan kembali pintu lama yang pernah tertutup, saya kembali pada hal yang paling akrab dengan diri saya: menulis.
Pada sebuah Sabtu siang, pesan dari Angga Wijaya datang membawa kabar baik. Buku esai saya, Jeda: Catatan Renungan Seorang Jurnalis tentang Kopi, Hidup dan Makna, telah siap naik cetak. Dua puluh tahun lebih saya menulis tentang orang lain. Baru kali ini kata-kata saya sendiri diberi rumah. Karya itu menjadi semacam penanda bahwa jeda yang saya jalani selama masa sulit ternyata menyimpan sesuatu yang tumbuh perlahan.
Saya lalu meminta Angga menyiapkan buku kedua dan ketiga. Target saya sederhana, agar pada awal 2026 tiga karya bisa lahir dari perjalanan yang tidak selalu mulus. Soal biaya yang belum sepenuhnya cukup, saya bilang nanti saja dibahas sambil duduk santai. Mungkin karena keyakinan saya sudah kembali. Mungkin karena saya tahu bahwa badai yang saya lewati telah memberi sesuatu yang tidak dapat dihitung dengan angka.
Kini saya menatap tahun yang baru dengan rasa yang berbeda. Podium Ecosystem mulai berdiri, tulisan-tulisan mulai menemukan pembacanya, dan hidup perlahan kembali menata ritmenya. Ada optimisme yang tumbuh, bukan euforia yang meledak, melainkan keyakinan kecil bahwa perjalanan ini memiliki arah.
Setelah badai, yang tersisa bukan hanya puing, tetapi juga cerita tentang bagaimana kita bertahan. Dan menuliskannya menjadi cara saya untuk mengingat bahwa setiap krisis selalu menyimpan alasan mengapa kita tetap memilih untuk melanjutkan hidup.
Menot Sukadana