Janji Ngopi
MENJELANG akhir tahun, ketika urusan pekerjaan satu per satu diselesaikan, justru ada sesuatu yang terasa tertinggal. Bukan pekerjaan yang belum rampung, melainkan janji. Janji ngopi.
Entah sudah berapa lama janji itu tertunda. Dengan beberapa teman, kami sering saling mengucap, “kapan-kapan ngopi,” seolah itu hanya basa-basi ringan. Padahal, bagi kami, ngopi bukan sekadar duduk dan minum. Ia adalah ruang perjumpaan. Ruang bercerita. Ruang jeda di tengah kesibukan yang sering tak memberi napas.
Istilah ngopi, bagi kami, seperti bahasa sandi. Penanda pertemuan yang santai, akrab, dan tanpa beban. Meski dalam praktiknya, obrolan yang lahir sering kali justru serius. Kadang tentang hidup, kadang tentang pekerjaan, kadang tentang politik dan sejarah yang tak pernah selesai diperdebatkan.
Setahun terakhir, saya cukup sering ngopi di rumah seorang teman wartawan senior, GH. Seorang penulis kolom opini yang tekun membaca dan rajin menulis. Pada malam-malam tertentu, di sela pekerjaan, kami bertemu. Ngopi yang semula diniatkan sebentar, kerap berakhir hingga larut malam.
Diskusi kami sering melebar. Politik, sejarah, teori, dan tokoh-tokoh pemikir. Ia mengingat buku-buku yang pernah dibacanya dengan detail yang membuat saya sering terdiam. Dari sanalah, ia kerap mengingatkan saya, dengan cara yang sederhana namun menusuk, agar kembali membaca buku. Agar kembali menulis esai dan opini.
Saya tersenyum setiap kali ia mengatakan itu. Dulu, saat masih menjadi redaktur politik, menulis opini mingguan adalah kebiasaan. Kini, ketika mengelola media sendiri, justru saya semakin jarang menulis. Waktu senggang lebih sering saya pakai untuk beristirahat, dengan dalih lelah. Padahal, barangkali yang lelah bukan tubuh, melainkan keberanian untuk kembali duduk dan menulis.
Selain GH, ada ES. Teman wartawan lain, yang dalam praktiknya sering datang ngopi tanpa benar-benar ngopi. Ia lebih sering memesan air mineral atau teh hangat. Ia menjaga tubuhnya dengan disiplin yang tenang. Olahraga, pola makan, dan kesadaran akan kesehatan.
Dengan ES, istilah ngopi pelan-pelan berubah makna. Ia menjadi kode untuk bertemu membahas pekerjaan. Diskusi kami cenderung ringkas, terukur, dan penuh kesepakatan nilai. Kami bekerja dengan prinsip-prinsip yang tak tertulis, namun kami pegang erat. Profesional, saling melengkapi, tidak mengusik pihak lain, dan sebisa mungkin memberi dampak baik di luar diri kami sendiri.
Kami tahu, bekerja dengan prinsip seperti itu tidak selalu mudah. Tapi kami percaya, nilai-nilai itulah yang membuat kami bertumbuh. Suatu ketika ES berkata, dengan nada yang tenang, bahwa kepercayaan adalah kesempatan untuk membuktikan kualitas diri. Dan setiap kepercayaan, pada akhirnya, menuntut pertanggungjawaban.
Kalimat itu kembali terngiang ketika saya teringat pada janji ngopi dengan GH yang belum juga terpenuhi. Dan mungkin juga pada janji-janji ngopi lain yang masih menggantung. Janji yang tampak sederhana, namun sejatinya adalah bentuk kepercayaan kecil antar manusia.
Barangkali itulah yang membuat pikiran terasa mengganjal. Karena janji, sekecil apa pun, selalu menuntut untuk ditepati. Maka jawabannya menjadi sederhana. Tak perlu rumit. Janji ngopi itu harus dipenuhi.
Karena di sanalah, sering kali, kita kembali belajar tentang diri sendiri. Tentang kepercayaan. Dan tentang jeda yang membuat hidup terasa lebih manusiawi. (*)
Menot Sukadana