Kota Terbiasa
TIDAK ada yang benar-benar mengejutkan di Denpasar hari ini. Macet, sampah, dan banjir hadir bergantian, seperti jadwal yang sudah dipahami semua orang. Yang berubah hanyalah cara kita menyikapinya, dari gelisah menjadi terbiasa. Pada titik ini, masalah bukan lagi apa yang terjadi di kota, melainkan apa yang sudah berhenti kita pertanyakan.
Deru mesin dan klakson membentuk bunyi latar yang nyaris tak pernah berhenti. Kendaraan mengisi setiap celah jalan, melaju sebentar, lalu tertahan lagi. Motor menyelip di antara mobil yang nyaris tak bergerak, seolah semua orang sedang mengejar sesuatu yang sama, tanpa benar-benar tahu siapa yang lebih dulu tiba.
Di perempatan, sisa hujan semalam masih tertahan. Air menggenang, membawa kantong plastik, botol minuman, dan potongan styrofoam yang berputar pelan di sudut selokan. Baunya naik perlahan, menyusup ke helm yang terbuka sedikit. Tak ada yang berhenti. Tak ada yang menunjuk. Semua sibuk mencari celah untuk lolos dari simpul macet berikutnya.
Di trotoar, tumpukan sampah berdiri di titik yang sama seperti kemarin. Bukan karena tak ada yang mengangkut, tetapi karena yang datang selalu lebih cepat dari yang bisa ditangani. Kota ini seperti menarik napas pendek. Jalan penuh, saluran penuh, pikiran pun ikut sesak.
Yang terasa ganjil justru bukan pemandangan itu. Yang ganjil adalah betapa biasa semuanya tampak.
Kita menyesuaikan diri. Menghafal jam padat, mengenal jalan tikus, menyiapkan jas hujan dan kesabaran ekstra. Dalam kehidupan sehari-hari, ini disebut adaptasi. Dalam dunia pemikiran Hannah Arendt, inilah saat ketika manusia berhenti berpikir secara reflektif dan mulai menjalani kebiasaan tanpa menimbang dampaknya.
Ketika sesuatu terjadi berulang-ulang, ia kehilangan daya kejutnya. Yang semula terasa salah, lama-lama hanya terasa rutin. Di situlah ketidaknormalan mulai menyamar sebagai kenormalan.
Sampah lalu tampil sebagai latar. Macet menjadi jadwal. Banjir berubah menjadi musim. Semua hadir tanpa lagi memantik pertanyaan tentang sebab, tanggung jawab, dan pilihan hidup bersama.
Kota, dalam kondisi seperti ini, pelan-pelan berhenti dipahami sebagai ruang hidup bersama. Ia berubah menjadi lintasan cepat kepentingan. Setiap orang bergerak, sedikit yang menengok ke sekitar. Henri Lefebvre menyebut kota sebagai ruang sosial yang seharusnya diproduksi bersama, bukan sekadar dikonsumsi. Ketika perhatian warganya hilang, ruang itu akan menanggung beban paling berat dari cara hidup yang serba cepat.
Denpasar tumbuh pesat. Kendaraan bertambah, bangunan berdiri, konsumsi meningkat. Namun pertumbuhan kesadaran tidak selalu seiring. Dalam gambaran Zygmunt Bauman tentang kehidupan modern yang cair, manusia makin mudah berpindah dan membeli, tetapi makin sulit menetap dalam tanggung jawab jangka panjang.
Yang mengkhawatirkan bukan sekadar panjangnya antrean kendaraan atau bau selokan yang tertutup plastik. Yang lebih mengusik adalah ketika semua itu tidak lagi menimbulkan kegelisahan. Ketika rasa terganggu dianggap berlebihan, padahal ia justru penanda nurani yang masih hidup.
Dalam kebudayaan Bali lama, hidup dijaga oleh kesadaran batas. Ada ruang yang dihormati, ada waktu untuk berhenti, ada rasa cukup yang dirawat. Batas itu kini semakin kabur. Yang tersisa sering kali hanya dorongan untuk terus bergerak dan menambah, tanpa sempat bertanya apakah semua itu masih memberi makna.
Albert Camus melihat keberanian manusia bukan pada kemenangan besar, melainkan pada kesediaan untuk berkata tidak pada keadaan yang merendahkan martabat hidup. Dalam konteks kota, penolakan itu mungkin tidak dramatis. Ia hadir sebagai kegelisahan kecil yang dipelihara agar tidak padam.
Merasa terganggu oleh sampah bukan sikap manja. Kesal terjebak macet bukan tanda kurang sabar. Gelisah melihat banjir berulang bukan berlebihan. Itu tanda bahwa kita belum sepenuhnya berdamai dengan ketidakberesan.
Jeda ini tidak menawarkan solusi instan. Ia hanya mengajak berhenti sejenak di tengah kemacetan, di tepi genangan, di samping tumpukan sampah, lalu bertanya pelan, apakah kita sungguh baik-baik saja dengan semua ini.
Sebab kota yang sehat bukan kota tanpa masalah, melainkan kota yang warganya masih mau merasa terusik ketika sesuatu tidak berjalan semestinya. Selama rasa itu masih hidup, Denpasar belum sepenuhnya kehilangan dirinya. Dan kita, sebagai penghuninya, masih punya alasan untuk terus bertanya, sebelum ketidaknormalan benar-benar kita anggap biasa. (*)
Menot Sukadana