Search

Home / Aktual / Ekonomi

Krisis Perumahan Bali: Generasi Muda Terpinggirkan

Editor   |    23 April 2025    |   21:14:00 WITA

Krisis Perumahan Bali: Generasi Muda Terpinggirkan
Ilustrasi: pengembangan perumahan. (podiumnews)

PULAU Bali dengan keindahan alam dan budayanya yang memukau, telah lama menjadi magnet bagi wisatawan dari seluruh dunia. Namun, di balik gemerlap pariwisata, tersimpanIronisnya, justru generasi muda Bali kini semakin sulit untuk merealisasikan impian memiliki rumah di tanah kelahirannya sendiri, terutama di daerah perkotaan seperti Denpasar.

Dalam beberapa tahun terakhir, harga properti di Bali, khususnya di Denpasar, melonjak secara signifikan. Data dari Bank Tabungan Negara (BTN) menunjukkan kenaikan harga rumah antara 11% hingga 41% antara tahun 2022 dan 2024. Bahkan, Denpasar mencatatkan kenaikan harga rumah tahunan tertinggi secara nasional, mencapai 20,1% pada Desember 2023. Harga rumah bekas pun tak kalah fantastis, dengan pertumbuhan tahunan tertinggi di antara 13 kota besar di Indonesia, yaitu 13,2% pada Oktober dan November 2024.  

Kondisi ini tentu menjadi pukulan berat bagi generasi muda Bali. Bayangkan saja, di awal tahun 2024, mencari rumah dengan harga di bawah Rp 900 juta di Bali sudah sangat sulit. Di Denpasar Selatan, sebuah rumah dengan lahan standar 70 meter persegi dan bangunan 80 meter persegi bisa mencapai harga Rp 1,8 miliar, bahkan yang lebih besar bisa menyentuh Rp 2,9 miliar. Harga yang fantastis ini jelas jauh melampaui kemampuan finansial generasi muda yang baru memulai karir. Sebagai gambaran, seorang profesional akuntansi di Denpasar dengan gaji antara Rp 2,8 juta hingga Rp 3,4 juta per bulan, bahkan hanya mampu menyewa kamar.  

Lantas, apa yang menyebabkan harga properti di perkotaan Bali ini terus meroket? Beberapa faktor utama disinyalir menjadi pemicunya. Pertama, tentu saja sektor pariwisata yang berkembang pesat. Permintaan akan akomodasi, baik untuk wisatawan maupun pekerja di sektor ini, terus meningkat, mendorong naiknya harga properti dan sewa. Tingginya potensi keuntungan dari penyewaan vila, yang bisa mencapai 15-25% per tahun, juga menarik minat investor untuk berburu properti di Bali.  

Selain itu, fenomena work from Bali pasca-pandemi juga turut berkontribusi. Banyak pekerja jarak jauh dan investor dari luar Bali, bahkan mancanegara, berbondong-bondong datang dan membeli properti, baik untuk ditinggali maupun disewakan. Kebijakan yang memudahkan kepemilikan properti oleh asing juga semakin memanaskan pasar. Terakhir, ketersediaan lahan di kawasan perkotaan yang semakin terbatas juga menjadi faktor krusial yang mendongkrak harga properti.  

Kondisi ini tentu menimbulkan konsekuensi yang tidak ringan bagi generasi muda Bali. Impian untuk memiliki rumah pertama menjadi semakin jauh, bahkan terkadang terasa mustahil. Mereka terpaksa terus bergantung pada kontrakan atau kos dengan harga yang juga terus meningkat. Jika tren ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin generasi muda Bali akan semakin terpinggirkan dari pasar properti di tanah kelahirannya sendiri. Mereka mungkin terpaksa pindah ke daerah yang lebih terjangkau, namun berpotensi kehilangan akses ke peluang ekonomi di perkotaan.  

Melihat kondisi yang semakin mengkhawatirkan ini, berbagai pihak perlu mengambil tindakan. Pemerintah daerah dan pusat perlu mempertimbangkan kebijakan yang dapat menyeimbangkan antara investasi properti dan aksesibilitas hunian bagi penduduk lokal. Regulasi terkait spekulasi properti, insentif untuk pembangunan rumah terjangkau, serta program dukungan kepemilikan rumah bagi generasi muda perlu dipertimbangkan. Menata kembali tata ruang kota dengan memprioritaskan perumahan terjangkau dan berkelanjutan juga menjadi langkah penting.  

Masa depan generasi muda Bali tidak seharusnya terenggut oleh mahalnya harga properti. Dengan langkah-langkah yang tepat dan kolaborasi dari berbagai pihak, diharapkan impian mereka untuk memiliki rumah di Pulau Dewata dapat kembali terwujud. (isu/suteja)

 


Baca juga: Indonesia Menjadi Mesin Ekonomi Utama di Asia Tenggara