"Di balik gemerlap retorika tentang pentingnya peran pemuda dalam pembangunan daerah, sebuah ironi mencolok terungkap," PARA pemangku kebijakan dan aparatur di berbagai dinas pemerintahan daerah, kiranya perlu merefleksikan secara mendalam implikasi epistemologis dari paradigma hegemonik yang inheren dalam praktik birokrasi selama ini. Kecenderungan untuk mempertahankan status quo dan resistensi terhadap gagasan-gagasan inovatif yang disuarakan oleh entitas kepemudaan merupakan manifestasi dari kerangka berpikir hierarkis yang kontraproduktif terhadap kemajuan daerah. Retorika pemberdayaan pemuda seringkali terdekonstruksi menjadi sekadar lip service belaka, kehilangan substansi praksis di tengah dominasi mentalitas paternalistik yang mereduksi peran pemuda menjadi objek kebijakan semata. Sikap skeptis dan presuposisi negatif terhadap kapasitas organisasi pemuda, yang acapkali diasosiasikan dengan motif-motif oportunistik, mencerminkan defisit kepercayaan dan pemahaman terhadap potensi kolaboratif yang esensial bagi pembangunan yang inklusif. Paradigma "kami lebih berpengetahuan" yang dianut secara implisit mengabaikan realitas sosio-kultural yang dinamis dan kompleks. Generasi muda saat ini memiliki aksesibilitas tinggi terhadap informasi global, kemampuan adaptasi terhadap inovasi teknologi, serta perspektif yang segar dan relevan dengan tantangan zaman. Kegagalan untuk mengintegrasikan episteme kaum muda ke dalam formulasi kebijakan dan implementasi program pembangunan merupakan sebuah disfungsi struktural yang menghambat optimalisasi potensi daerah. Mentalitas top-down yang masih dominan dalam relasi antara dinas dan organisasi pemuda menafikan prinsip mutualisme dan resiprositas yang mendasari kemitraan strategis yang produktif. Inisiatif-inisiatif konstruktif dari kalangan pemuda seringkali terfragmentasi oleh labirin birokrasi dan subordinasi terhadap agenda-agenda yang telah mapan. Akibatnya, energi kreatif dan idealisme generasi muda mengalami stagnasi dan berpotensi bermetamorfosis menjadi alienasi terhadap proses pembangunan. Oleh karena itu, imperatif bagi para pengelola dinas adalah melakukan dekonstruksi terhadap mentalitas otoritarian dan mengadopsi pendekatan yang lebih egalitarian dan partisipatif. Ruang dialog yang inklusif, mekanisme fasilitasi yang transparan, serta pengakuan terhadap otonomi dan kapasitas organisasi pemuda merupakan prasyarat krusial untuk membangun sinergi yang berkelanjutan. Kegagalan untuk merekonfigurasi relasi kuasa antara dinas dan pemuda akan berimplikasi pada inefisiensi pembangunan dan hilangnya peluang untuk mengakselerasi kemajuan daerah melalui partisipasi aktif generasi muda. Transformasi paradigma dari kontrol menuju kolaborasi adalah sebuah keniscayaan historis jika kita sungguh-sungguh berkomitmen pada pembangunan daerah yang progresif dan berkelanjutan. Kesadaran metakognitif akan keterbatasan perspektif birokratis dan apresiasi terhadap heterogenitas gagasan dari kalangan pemuda adalah langkah awal menuju tatanan relasi yang lebih produktif dan konstruktif. Oleh: I Dewa Gede Fathur Try Githa. S.Pd (Anggota DPD KNPI Provinsi Bali)
Baca juga:
Bebal