Search

Home / Kolom / Jeda

Sebuah Sore, dan Waktu yang Mengendap

Editor   |    23 Mei 2025    |   04:44:00 WITA

Sebuah Sore, dan Waktu yang Mengendap
Dua cangkir kopi. Sebuah meja kayu. Kata "JEDA" yang diguratkan diam-diam. Di balik kesibukan, kita semua butuh ruang untuk berhenti sejenak—mendengar kembali suara sendiri. (podiumnews)

SORE ITU, Denpasar. Jalan Teuku Umar Barat diam-diam menyerap cahaya yang pulang. Di sebuah kedai kopi kecil, waktu seolah melambat. Bukan karena senja yang terlalu indah, tapi karena kami—tiga orang yang dulu muda—bertemu kembali.

Dulu kami melangkah di jalan yang sama: kampus, lembaga swadaya, aksi-aksi di jalanan. Kini, arah telah bercabang. Satu menjadi pengacara, satu menjadi pengusaha. Saya, tetap menulis, merawat media kecil yang saya cintai. Di wajah kami, usia sudah menulis catatan, tetapi dalam mata yang sama masih tinggal percik yang dulu: idealisme yang tak pernah benar-benar selesai.

Kami berbicara, tentang apa saja. Tentang hidup yang tak seperti yang dibayangkan dulu, tentang lelah, tentang bertahan. Lalu seorang kawan melontarkan pertanyaan yang sunyi dan dalam:

"Kita akan lima puluh. Harapan hidup kita tujuh puluh, kira-kira. Jadi, apa lagi yang kita kejar di waktu yang tersisa ini?"

Pertanyaan itu tidak butuh jawaban cepat. Ia lebih mirip gema—bergema dalam kepala bahkan setelah obrolan usai. Tapi saya jawab juga, meski pelan:

"Aku hanya ingin tenang. Di kampung. Dengan kopi, dengan buku. Dan tempat kecil, tempat anak-anak muda bisa datang dan belajar. Tentang literasi. Tentang hidup yang bermakna."

Saya cerita tentang Podium Ecosystem. Bukan proyek besar. Tapi sebuah simpul kecil dari harapan: bahwa usaha bisa berdampak. Bahwa wirausaha sosial dan literasi bisa menjahit ulang yang retak. Karena hidup, pikir saya, tidak harus hebat. Cukup jika ia menyentuh.

Kami bersepakat. Sore itu bukan hanya temu kangen. Kami ingin berbuat. Kami bicara UMKM Bali, tentang jejaring yang bisa disatukan. Saya menawarkan media saya—Urbanbali—untuk membantu mereka dikenal, dilihat, diperhatikan. Kami bicara lama. Empat jam yang tak terasa. Seorang jurnalis lain bergabung. Percakapan kami bertambah umur.

Rabu berikutnya, senja lagi. Bukan di tempat yang sama—meja berbeda, tapi suasana serupa. Secangkir kopi mengepul di hadapan, dan percakapan tumbuh pelan. Seorang jurnalis muda datang—anak buah saya di media daring. Ia datang membawa semangat yang rapi: ingin mandiri, ingin membangun medianya sendiri.

Saya dengarkan. Saya beri dukungan. Lalu saya bicara, tidak panjang, tapi saya harap cukup:

"Media bukan hanya untuk penghidupanmu. Ia juga untuk publik. Ia harus menyejahterakan, iya. Tapi juga tentang dampak, bagaimana ia bisa mencerdaskan, menyentuh, memberi ruang."

Mungkin kalimat itu terlalu sederhana. Tapi saya berharap ia akan tumbuh di dalamnya. Menjadi akar yang pelan-pelan mencengkeram tanah.

Kita tidak pernah tahu di titik mana hidup kita berubah. Kadang, hanya dengan secangkir kopi, dan kalimat yang tepat, waktu bisa membuka dirinya. Dan kita mengerti, bahwa usia bukan hitungan. Tapi sebuah jeda yang menunggu makna.(*)

(Menot Sukadana)

Baca juga :
  • Ingat Siapa Kita
  • Warisan
  • Yang Lewat Bersama Waktu