ADA kalimat-kalimat yang tak ditulis di buku. Ia datang dalam percakapan kecil, di tempat yang sederhana, dengan orang yang kita kenal bukan karena gelar, tapi karena ikatan. Dan kadang, ia tertinggal di dasar cangkir yang sudah kosong.
Dua belas tahun lalu, di warung kecil dekat pasar kampung yang buka dua puluh empat jam, saya duduk berhadapan dengan seorang adik sepupu. Usianya belasan tahun lebih muda. Ia mahasiswa di salah satu kampus negeri di Bali, tapi lebih sibuk dengan aktivitas organisasi daripada studinya. Kakaknya—yang juga pernah saya bantu—meminta saya untuk memberinya nasihat.
Saya bukan motivator. Saya hanya seseorang yang pernah gagal menyelesaikan pendidikan saya tepat waktu. Maka saya bicara bukan dari keberhasilan, tapi dari penyesalan.
“Kamu boleh bandel, tapi jangan sampai studimu gagal. Pendidikan membuka pintu yang tidak bisa kamu duga sekarang. Jangan ulangi kegagalan saya,” kata saya malam itu.
Tahun berganti. Kini saya dengar ia telah bekerja di kementerian di Jakarta, dan akan melanjutkan studi ke Inggris. Kakaknya pun telah menyelesaikan S2 di Malang.
Sebagian orang bilang: waktu akan menjawab semua. Tapi saya percaya, kadang sebuah nasihat yang datang di waktu yang tepat, bisa lebih dari sekadar jawaban — ia bisa menjadi arah.
Sabtu malam yang lain, di tempat yang sama, saya kembali duduk — kali ini dengan seorang adik sepupu lain. Ia lulusan hukum dari kampus negeri di Denpasar. Ia menyampaikan niatnya untuk melanjutkan S2 ke Jawa.
Saya senang, meski tahu biaya baru tersedia sekarang. Tapi bukan uang yang menjadi soal.
“Dulu kamu tidak punya siapa-siapa. Ayahmu sudah tiada. Tapi kamu tetap bisa kuliah. Sekarang kamu punya lebih banyak. Saya yakin kamu bisa,” kata saya.
Saya lalu bercerita tentang keinginan saya untuk pulang ke kampung. Membangun pondok kecil. Membuka kedai kopi di atas tanah peninggalan orangtua yang lama terbengkalai. “Kalau tak ada modal, mungkin salah satu rumah di Denpasar akan saya jual. Saya tak bisa merawat semuanya,” saya katakan.
Pilihan pulang bukan karena lelah, tapi karena ada warisan yang bukan berupa harta: menjaga keluarga besar. Seperti yang dulu dilakukan ayah saya.
Saya mendorong adik-adik sepupu menyelesaikan pendidikan agar kelak, ketika saya benar-benar menetap di kampung, saya tidak sendiri memikul tanggung jawab itu.
Beberapa minggu sebelum ke Surabaya, saya bertemu seorang wartawan muda di sebuah rumah makan di Denpasar. Ia pernah saya bimbing. Kini medianya berkembang pesat. Malam itu, tiga gelas kopi habis sebelum percakapan kami selesai.
“Saya senang kamu tumbuh,” kata saya. “Tapi tetaplah menjadi dirimu. Rendah hati dan santun. Itu akan menyelamatkanmu lebih dari yang kamu kira.”
“Tiyang pasti akan selalu ingat nasehat, Bli,” ucapnya sebelum kami berpisah.
Saya tidak tahu apakah semua yang saya ucapkan benar-benar berguna. Tapi ada haru yang tinggal setiap kali mereka masih menyebut saya “kakak” — bukan sekadar karena umur, tapi karena mereka menganggap saya pernah hadir untuk mereka.
Tiga pertemuan. Tiga cangkir kopi. Dan cerita yang terus tumbuh, bahkan setelah percakapan selesai.
Setiap cangkir punya cerita. Dan kadang, yang tertinggal di dasar cangkir bukan ampas, tapi nasihat yang diam-diam hidup. (*)
(Menot Sukadana)
Baca juga :
• Kopi dan Keran Air yang Bocor
• Jalan Raya yang Kehilangan Etika
• Lupa