Search

Home / Kolom / Jeda

Lupa

Editor   |    03 Juni 2025    |   17:16:00 WITA

Lupa
Jeda. (podiumnews)

PANCASILA tak pernah pergi. Ia tetap dibaca, dikutip, dipidatokan. Tapi mungkin kita yang—perlahan-lahan—lupa mengeja maknanya dalam hidup sehari-hari.

Setiap tanggal 1 Juni, suara mikrofon menggelegar di lapangan. Pejabat berdasi, ASN berbaris, upacara berjalan khidmat. Pancasila dibaca ulang, dipidatokan ulang, ditandatangani lagi dalam hati yang katanya tak pernah lalai.

Tapi di luar garis kuning tempat mereka berdiri, seorang ayah mendekam di balik jeruji karena mencuri demi bisa membeli sepatu sekolah untuk anaknya. Ia tak mencuri milyaran, tak pula mencatut anggaran. Ia hanya ingin pendidikan yang katanya hak, bukan beban.

Di sudut lain, Ni Made Lori—seorang nenek renta di Badung—pernah hidup terkurung kemiskinan dan sakit yang tak terobati. Bukan karena tak ada rumah sakit, tapi karena ia tak tahu harus ke mana dan bagaimana caranya mengakses hak yang diiklankan dalam baliho-baliho program. Meski akhirnya uluran bantuan datang dari pemerintah daerah, kita tetap harus bertanya: mengapa ia harus menunggu begitu lama? Di mana negara saat ia bingung dan kesakitan dalam sunyi?

Di jalan Diponegoro Denpasar, dua remaja baru saja meregang nyawa dini hari. Penyebabnya: truk parkir sembarangan dan jalan yang gelap. Tak ada lampu jalan. Tak ada pengawasan. Hanya ada deru takdir yang terlalu cepat tiba. Pancasila menyebut keselamatan sebagai bagian dari kemanusiaan yang adil. Tapi malam itu, adil terasa jauh.

Maka tiap kali pejabat bicara tentang Pancasila, izinkan rakyat bertanya balik: Sudahkah engkau memperjuangkannya? Ataukah ia hanya menjadi dekorasi podium, bukan pedoman kebijakan?

Pancasila bukan hanya teks dalam pembukaan UUD, tapi urusan nasi dan obat, akses pendidikan dan keselamatan jalan, lampu penerangan di gang sempit, serta jaminan bahwa rakyat tak lagi harus mengemis kepada negara yang katanya hadir dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Pidato-pidato boleh merdu. Tapi kebenaran ada di warung, di rumah sempit pinggir got, di suara-suara sunyi yang tidak tercetak di naskah sambutan.

Dan di sana pula, kopi selalu jujur. Ia tak perlu dipidatokan untuk menghangatkan hati yang dingin. Ia tahu, cita rasa itu hadir dari kejujuran, bukan kemewahan. (*)

(Menot Sukadana)

 

Baca juga :
  • Sandal Jepit dan Pagi yang Cukup
  • Lampu yang Tak Pernah Dimatikan
  • Kopi dan Keran Air yang Bocor