Search

Home / Kolom / Opini

Menemukan Kembali Guru Pertama

I Nyoman Sukadana   |    12 Juli 2025    |   21:32:00 WITA

Menemukan Kembali Guru Pertama
Angga Wijaya. (dok/pribadi)

BEBERAPA malam lalu, saya menyadari seseorang yang dulu saya anggap sebagai guru sastra—penulis dari kota kecil kami di Jembrana, Bali—telah menghapus saya dari daftar pertemanannya di Facebook. Kami memang pernah berbeda pandangan, terutama soal keberagaman. Tapi malam itu saya tidak merasa marah. Yang saya rasakan justru semacam kehilangan yang tenang, yang kemudian membuat saya merenung: siapa sebenarnya guru pertama dalam hidup saya?

Pertanyaan itu membawa saya kembali bukan ke ruang kelas, bukan ke perpustakaan, apalagi ke forum-forum sastra. Tapi ke sebuah kamar sederhana di rumah masa kecil saya. Di sanalah, seorang perempuan tua duduk di atas ranjang, menulis surat dengan tangan yang pelan dan hati yang penuh.

Namanya Ni Nengah Sember. Ia bibi saya, sekaligus ibu angkat saya. Perempuan Bali yang kuat, pekerja keras, dan penuh kasih. Ia bukan guru sekolah. Bukan penulis. Ia ibu rumah tangga biasa, yang hidupnya diisi dengan memasak, mencuci, menyiapkan sarapan, dan membesarkan saya sejak bayi, sementara  keempat anaknya telah dewasa.

Saya tidak tahu pasti kenapa ia mau menerima saya, anak tambahan di usia hidupnya yang sudah tidak muda. Tapi saya tahu satu hal: ia menerima saya tanpa syarat. Saya tinggal, tidur, dan makan di rumahnya seperti anak sendiri. Dari situ saya belajar bahwa kasih sayang tidak tergantung pada garis darah. Cinta bisa hadir begitu saja, karena keikhlasan.

Salah satu kenangan paling membekas darinya adalah kebiasaannya menulis surat. Ia punya sahabat pena bernama Shelly, perempuan asal Darwin, Australia. Mereka mulai saling berkirim surat berkat anak laki-lakinya—guru bahasa Inggris yang memang punya banyak teman dari Australia. Beberapa dari mereka bahkan pernah datang ke rumah kami.

Setiap kali ibu menulis, saya melihatnya dari pintu yang setengah terbuka. Ia duduk di atas ranjang, dengan tubuh sedikit membungkuk, menulis di atas kertas surat yang sudah dipilih dengan rapi. Saya masih ingat betul pemandangan itu:

Ia menulis dengan perlahan, kadang berhenti lama. Matanya sembab, tapi tangannya tetap bergerak. Saya tidak tahu apa isi surat itu, tapi saya tahu bahwa menulis adalah satu-satunya cara ia bisa membagikan isi hatinya.

Itu bukan surat yang ditulis karena tuntutan. Tapi karena kebutuhan jiwa. Saya kira, itulah saat pertama saya menyadari bahwa menulis bisa menjadi bentuk perawatan batin. Ibu menulis bukan untuk pamer, bukan untuk dipublikasikan. Ia menulis karena ingin tetap kuat.

Surat-surat dari Shelly disimpan rapi di lemari kayu di kamar. Saat ibu sakit, ia tak lagi mampu membalas. Tapi Shelly terus mengirim kabar. Ia tahu kondisi ibu dari kakak saya lewat telepon. Dan satu hari yang mengejutkan: Shelly datang ke Bali untuk menjenguk ibu di rumah sakit. Ibu begitu bahagia. Mereka berbicara dengan bahasa Indonesia, saling tertawa di tengah keletihan.

Momen itu terasa sangat manusiawi. Dua perempuan dari dua dunia berbeda, disatukan oleh surat. Bukan sekadar bertukar kata, tapi membangun kepercayaan, merawat persahabatan yang tak bisa diukur dengan apa pun.

Saya tumbuh bersama momen-momen itu. Dan perlahan saya sadar, kebiasaan ibu menulis surat bukan hanya peristiwa kecil dalam hidup saya. Ia membentuk dasar cara saya memahami kata-kata. Ia menanamkan dalam diri saya bahwa menulis bukan milik orang terpelajar saja. Menulis adalah milik siapa saja yang ingin jujur pada diri sendiri.

Ibu tidak pernah menyuruh saya menulis. Tapi saya belajar dari kebiasaannya mencatat pengeluaran rumah tangga, dari kertas-kertas berisi resep masakan, dari buku kecil tempat ia menyalin doa-doa. Semuanya ditulis dengan tangan, dengan cinta, tanpa pretensi.

Kini, setelah saya menulis artikel, puisi, dan buku, saya sadar: jalan saya ini tidak bermula dari ruang redaksi atau pertemuan sastra. Ia bermula dari kamar kecil di rumah tua—tempat seorang ibu menulis surat sambil menyeka air matanya.

Kalau saya pernah merasa kehilangan figur yang saya anggap sebagai guru, maka malam ini saya justru merasa sedang pulang. Pulang pada asal-muasal yang sesungguhnya. Pulang pada perempuan yang menanamkan keyakinan: bahwa menulis adalah bentuk bertahan, sekaligus bentuk mencintai hidup—dengan segenap luka dan harapannya.

Guru pertama saya tidak dikenal publik. Ia tidak punya gelar. Tapi ia memberi saya sesuatu yang lebih dari itu: keteladanan. Dan dari tangan tuanya, saya belajar bahwa tulisan yang paling jujur lahir bukan dari ambisi, tapi dari kasih. (*)

Angga Wijaya (Wartawan lepas, penyair, dan esais, tinggal di Denpasar)

Baca juga :
  • Saat Murid Lebih Canggih dari Guru
  • Belajar Bahagia dari Indonesia
  • Sastra dan Kemiskinan