KEBIJAKAN Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Timur (NTT) terkait Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) SMA/SMK mulai dari jam 5 pagi menjadi sorotan publik. Pasalnya, dikhawatirkan bakal membebani peserta didik dan guru. Selain itu juga berpotensi membahayakan tumbuh kembang para siswa. Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat menegaskan bahwa kebijakan dimaksudkan sebagai salah satu upaya memperbaiki kualitas SDM di NTT. Selain itu, menurut Viktor, jam masuk sekolah pun jadi pukul 05.30 Wita, dan hanya untuk siswa kelas XII SMA/SMK. Dari rekaman video yang beredar, Viktor mengatakan kebijakan itu diterapkan atau diuji coba pada dua sekolah yang dinilai unggul di NTT. Kini, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT telah mencatat 10 sekolah sudah menerapkan kebijakan ini atas kesanggupan masing-masing institusi. Menanggapi persoalan itu, Sosiolog Univesitas Airlangga (Unair) Dr Tuti Budirahayu MSi buka suara. Dia menilai aturan masuk sekolah jam 5 pagi harus dibuat dengan dasar dan tujuan yang jelas berdasarkan kajian empiris yang sahih dan valid atas keberhasilan program serupa di tempat-tempat lain. “Misalnya, ada contoh beberapa sekolah di Indonesia atau di negara-negara lain yang menerapkan kebijakan tersebut. Siswanya berhasil dalam bidang akademik maupun non akademik. Maka, kebijakan tersebut layak diuji cobakan. Jika tidak atau belum ada kajian yang komprehensif dan valid, lebih baik ditunda dulu dan cari kebijakan-kebijakan lain yang memiliki tujuan yang sama,” jelas Tuti melalui keterangan pers, Jumat (3/3). Sementara itu, Ketua DPP PSI Furqan AMC mempertanyakan apakah kebijakan itu sudah melalui kajian yang komprehensif terutama memikirkan dampaknya terhadap para siswa. “Apakah kebijakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dari jam 5 pagi ini sudah dikaji secara komprehensif? Terutama bagi yang terdampak langsung yaitu siswa, orang tua siswa dan guru,” seru Furqan, Jumat (3/3). “Kebijakan publik harus mengacu kepada kebutuhan dan kondisi publik itu sendiri, bukan semata-mata sepihak dari pemimpin saja, apalagi kalau hanya untuk kepentingan popularitas semata,” kata Furqan. Lebih lanjut Furqan juga mengingatkan bagaimana dengan daya dukung transportasi dan jaminan keamanan terhadap para siswa tersebut. “Siswa-siswa berarti harus keluar dari rumah sebelum jam 5 pagi. Jangan sampai niat untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tapi malah mendistraksi kehidupan sosial warga,” ujar Furqan mengingatkan. Hasil tidak akan optimal Di sisi lain, Dr Tuti menilai, jika aturan tersebut hanya berdasarkan pada satu kebijakan tunggal tanpa diiringi dengan kebijakan-kebijakan lain yang mendukung tujuan tersebut. Maka, hasil dari aturan tersebut tidak akan optimal. Dengan kata lain, pemajuan jam masuk sekolah tidak akan menghasilkan apa-apa. “Perlu ada inovasi pembelajaran yang berfokus pada tujuan-tujuan yang komprehensif. Misalnya, masuk pagi dimulai dengan olahraga bersama dengan tujuan melatih fisik dan sportivitas siswa serta menyegarkan badan dan pikiran siswa,” ucap Tuti. “Setelah itu, dilanjutkan dengan kegiatan literasi, di mana siswa diberi waktu satu jam untuk membaca buku dan berdiskusi. Selebihnya silahkan melakukan kegiatan pembelajaran seperti biasa. Yang penting, dari program-program dan kebijakan inovatif tersebut harus dievaluasi secara berkala,” sambungnya. Kekerasan simbolik Lebih lanjut, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) itu mengatakan bahwa aturan tersebut tentu akan memberatkan siswa karena mereka mau tidak mau harus patuh terhadap aturan sekolah. Namun di sisi lain, aturan tersebut belum tentu membuat siswa senang dan semangat untuk bersekolah. Dalam istilah sosiologi pendidikan, siswa dapat mengalami kekerasan simbolik. Artinya, siswa dan para guru sebenarnya mengalami kekerasan akibat aturan yang dibuat oleh pemerintah. Namun, kekerasan itu tidak dianggap sebagai bentuk kekerasan karena tujuannya dianggap baik yaitu untuk mendisiplinkan siswa dan lain sebagainya. “Pada hakikatnya, belajar adalah kegiatan yang menyenangkan, bukan kegiatan yang membuat anak tertekan. Jika aturan tersebut dibuat, maka kemungkinan siswa akan malas bersekolah dan bahkan bisa menyebabkan putus sekolah. Jadi sekali lagi kebijakan itu akan menjadi tidak efektif,” ujarnya. Pada akhir, Tuti mengatakan, untuk mencapai pembelajaran yang efektif, maka upaya yang harus dilakukan bukan dengan memajukan jam masuk sekolah. Melainkan, membekali para guru dengan keterampilan interaksi yang baik dengan murid serta melibatkan siswa dalam berbagai program pembelajaran. “Tumbuhkan kesadaran kritis mereka dan beri ruang berekspresi yang aman, nyaman, dan menyenangkan agar tercipta iklim pembelajaran yang berkualitas. Dan tidak lupa pula, siapkan sarana-prasarana belajar yang memadai sehingga suasana belajar di sekolah dapat membuat betah siswa untuk berlama-lama belajar di sekolah,” jelasnya. Berdampak buruk Pengamat Perkembangan Anak, Remaja, dan Pendidikan dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) T Novi Poespita Candra Ph.D menilai kebijakan yang diterapkan itu kurang bijaksana dan komprehensif sehingga dapat berdampak buruk terhadap siswa. “Dalam kajian perkembangan dan pendidikan sampai saat ini belum ada studi yang menjustifikasi jika sekolah dimulai lebih pagi dan menambah lama jam sekolah memiliki signifikansi terhadap etos belajar, kedisiplinan, dan prestasi siswa. Dengan begitu kebijakan ini kurang bijaksana,”paparnya, Kamis (2/3). Menurutnya, kebijakan tersebut akan menimbulkan dampak buruk jika tetap dijalankan dan tidak segera dilakukan mitigasi. Kebijakan sekolah masuk lebih pagi bisa berdampak negatif pada fisik, emosi, maupun kognisi siswa. Dari sisi fisik, masuk sekolah lebih pagi akan memengaruhi kualitas tidur sehingga berpengaruh pada kondisi fisik anak. Sementara itu, penambahan jam sekolah akan mengakibatkan kelelahan kronis pada anak yang bisa menurunkan imunitas tubuh sehingga lebih rentan terserang penyakit. Hal tersebut pada akhirnya akan memengaruhi fokus belajar anak. “Masuk lebih pagi, terburu-buru, dikhawatirkan anak-anak jadi tidak sempat sarapan atau sarapan, namun kurang berkualitas sehingga memengaruhi konsentrasi belajar di sekolah,”imbuhnya. Co-Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan ini mengatakan kebijakan masuk sekolah pagi juga akan berpengaruh pada emosi anak karena harus bangun lebih pagi yang tentunya bukan menjadi hal yang mudah. Demikian halnya dengan orang tua, yang bisa tersulut emosinya ketika menjumpai anak-anak belum siap. “Akan banyak berpotensi memunculkan problem emosi, yang seharusnya berangkat dengan emosi positif penuh harapan dan motivasi. Namun, justru diawali dengan emosi negatif. Belum lagi kalau terlambat anak akan menerima hukuman, disini anak-anak juga bisa timbul emosi dan begitu juga gurunya emosi karena capek,”urainya. Menurutnya, ada lingkaran persoalan emosi negatif yang dimunculkan dalam kondisi ini. Apabila hal tersebut berlangsung dalam jangka panjang dikhawatirkan dapat menurunkan motivasi belajar siswa dan mengajar guru. Kebijakan tersebut juga memengaruhi aspek kognitif pada anak. Novi menjelaskan bahwa otak manusia akan berfungsi secara optimal jika kondisi seluruh tubuh berada dalam keadaan fit dan bahagia. Jika hal itu tidak terjadi maka otak tidak dapat berfungsi secara optimal sehingga berkontribusi pada penurunan kualitas numerasi, literasi, serta pengambilan keputusan. Karena masuk sekolah lebih pagi, dikatakan Novi, anak-anak menjadi kehilangan waktu untuk bersosialisasi dengan keluarga. Demikian pula dari sisi keamanan, kebijakan ini masih kurang tepat. “Kalau masuk lebih pagi kan masih gelap. Ini perlu dipikirkan keamanannya, terutama daerah-daerah pinggiran yang jalanannya masih sepi kan bahaya,” tuturnya. Lebih lanjut Novi mengatakan kebijakan masuk sekolah pagi untuk mendorong kedisiplinan siswa pada realitanya tidak tercapai. Dari pantauan yang dilakukan oleh Kompas.id ada sekitar 96,16 persen siswa yang terlambat di SMA N 1 kota Kupang pada Rabu (1/3). “Kebijakan tersebut juga kurang empatik dan komprehensif karena tidak mempertimbangkan kondisi sosial siswa dan guru. Dari investigasi beberapa media tercatat tidak semua anak punya kendaraan sendiri sehingga harus menyewa lebih mahal ada juga orang tua yang mengeluh tidak bisa pergi bekerja karena harus mengantar anaknya dahulu. Kebijakan ini jadi kurang terlihat memanusiakan,”jelasnya. Novi kembali menegaskan bahwa kebijakan yang ditetapkan pemprov NTT kurang tepat sebagai upaya untuk mendorong kedisplinan, etos belajar, produktivitas, dan prestasi pada siswa. Menurutnya, memajukan jam masuk sekolah bukanlah satu-satunya cara untuk mewujudkan hal-hal tersebut. Cara yang dirasa efektif untuk membentuk kultur belajar di sekolah adalah yang memfasilitasi kodrat-kodrat manusia yang berupa rasa keingintahuan, dialog, serta kreativitas. “Untuk meningkatkan displin, etos belajar, dan prestasi pada siswa remaja ini yang dibutuhkan adalah motivasi atau kesadaran dalam diri siswa. Kalau di sekolah dibangun rasa ingin tahu, belajar berdasar kasus, eksperimen, maka akan-anak akan dengan sadar dan punya motivasi belajar,”jelasnya. Rasa keingin tahunan pada siswa ini dikatakan Novi perlu dibangun melalui dialog. Sebab, siswa masih berada dalam tahapan usia remaja yang sedang berkembang menemukan identitas diri. Dengan sering melakukan dialog dengan guru diharapkan dapat memunculkan kesadaran diri akan pentingnya disiplin maupun belajar. Sayangnya, sekolah di Indonesia saat ini masih minim dalam membangun dialog dan rasa ingin tahun pada siswa. Novi menyebutkan upaya membangun kreativitas dan memfasilitasi pengembangan imajinasi pada siswa juga perlu diupayakan. “Problem anak sekarang ini 79% itu karena kebosanan. Kalau jam pelajaran ditambah justu akan menambah kebosanan anak yang akan menurunkan motivasi belajar sehingga bagaimana menciptakan kultur baru yang memperhatikan kodrat-kodrat manusia perlu dipikirkan,” katanya Sebagaimana diketahui, tersebar video Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat yang meminta agar aktivitas sekolah khusus bagi SMA-SMK dimulai sejak jam 5 pagi. Viktor menyampaikan arahan tersebut dalam pertemuan dengan sejumlah guru serta kepala SMA dan SMK di Kota Kupang pada 23 Februari 2023. Sedangkan Kepala Dinas P dan K, Linus Lusi mengatakan, Pemprov berkomitmen agar ada 200 lembaga pendidikan tingkat SMA/SMK di NTT masuk sekolah terbaik di Indonesia. Oleh karena itu, khusus di Kota Kupang, dianjurkan kepada 10 SMA dan SMK untuk menerapkan jam masuk sekolah mulai jam 5 pagi. Kesupuluh sekolah tersebut yaitu SMA, yakni SMA 1, SMA 2, SMA 3, SMA 5, dan SMA 6, serta empat SMK, terdiri dari SMK 1, SMK 2, SMK 3, dan SMK 4 yang ada di Kota Kupang. Menurut Linus Lusi, 10 sekolah ini tahap pertama, nanti akan dilaksanakan secara menyeluruh di NTT. (rik/sut)
Baca juga:
Jaga Kelestarian, Gubernur Bali Proteksi Kawasan Batur