Search

Home / Aktual / Politik

Senayan: Dari Mimpi PBB Tandingan ke Parlemen

Editor   |    22 April 2025    |   20:01:00 WITA

Senayan: Dari Mimpi PBB Tandingan ke Parlemen
Proses pembangunan Proyek Conefo. (dpr ri)

GAGASAN besar Presiden Soekarno pada pertengahan dekade 1960-an melahirkan sebuah proyek ambisius di kawasan Senayan, Jakarta. Awalnya, lahan seluas 80 hektar itu diproyeksikan menjadi pusat kegiatan Conference of the Emerging Forces (CONEFO), sebuah lembaga perserikatan bangsa-bangsa tandingan yang digagas Soekarno untuk membendung pengaruh neo-kolonialisme dan neo-imperialisme dari Blok Barat.

Peletakan batu pertama sekretariat CONEFO pada 19 April 1965, bertepatan dengan sepuluh tahun peringatan Konferensi Asia-Afrika, menandai dimulainya proyek monumental ini. Soekarno menginginkan kompleks ini mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia, menjawab tantangan zaman, dan tampil megah di kancah internasional.

Untuk mewujudkan visinya, Soekarno menunjuk arsitek-arsitek terbaik Indonesia, termasuk Soejoedi Wirjoatmodjo yang terpilih sebagai perancang utama, dibantu oleh Soetami, Slamet Wirasonjaya, dan Nurponco. Pembangunan kompleks ini melibatkan puluhan ribu pekerja, baik profesional maupun sukarelawan, yang saking banyaknya dijuluki "armada semut".

Target penyelesaian kompleks CONEFO ditetapkan pada 17 Agustus 1966. Namun, gejolak politik nasional akibat Peristiwa G30S pada 30 September 1965 menjadi titik balik proyek ini. Melemahnya kekuasaan Soekarno turut meredupkan kiprah CONEFO di panggung dunia, yang pada akhirnya berimbas pada terhentinya pembangunan kompleks sekretariat.

Di tengah perubahan lanskap politik, kekuasaan beralih ke tangan Soeharto melalui Supersemar. Pada 9 November 1966, sebuah keputusan penting diambil: Kompleks CONEFO dialihfungsikan menjadi Kompleks Parlemen, yang kini kita kenal sebagai MPR/DPR/DPD RI.

Pembangunan pun dilanjutkan dengan fokus baru. Empat gedung utama didirikan pada tahap awal, yaitu Gedung Konferensi, Gedung Sekretariat, Gedung Perjamuan, dan Gedung Pastjad. Hingga akhirnya, pada 18 Maret 1968, Kompleks Parlemen dapat digunakan sebagai tempat bersidang oleh Badan Pekerja MPRS untuk Sidang Umum ke-V.

Salah satu ikon arsitektur di kompleks ini adalah Gedung Nusantara. Dengan kubahnya yang menyerupai kepakan sayap Garuda dan dua struktur beton yang melengkung bak cengkraman sang burung, gedung ini sarat akan filosofi persatuan dan kekuatan bangsa Indonesia yang mampu terbang tinggi tanpa kehilangan jati diri. Desain atap tanpa tiang penyangga vertikal di Ruang Sidang Paripurna I menjadi bukti kecerdasan arsitektur yang mengutamakan fungsi dan estetika.

Seiring berjalannya waktu, kompleks parlemen terus mengalami penambahan fasilitas, termasuk gedung sekretariat jenderal, ruang anggota, tempat ibadah, dan ruang terbuka hijau. Hingga kini, Gedung Nusantara beserta Gedung Nusantara II, III, IV, dan V telah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya Tingkat Provinsi DKI Jakarta sejak tahun 1993.

Dari cita-cita Soekarno untuk mendirikan sekretariat PBB alternatif, kini berdiri megah Kompleks MPR/DPR/DPD RI. Sebuah monumen hidup yang terus menjadi saksi bisu dinamika politik dan representasi suara rakyat Indonesia. (isu/suteja)


Baca juga: Pemerintah Diminta Segera Tangani Kasus Diabetes Anak