Search

Home / Aktual / Sosial Budaya

Beban Tradisi: Kala Harga "Lakar" Banten Tak Bersahabat

Dewa Fatur   |    22 April 2025    |   21:14:00 WITA

Beban Tradisi: Kala Harga "Lakar" Banten Tak Bersahabat
Ilustrasi seseorang ibu saat melakukan persembahan. (Foto: Dewa)

DENPASAR, PODIUMNEWS.com - Aroma kembang gumitir dan canang sari tak lagi semerbak riang di benak Ni Wayan Sari (45). Menjelang Galungan di Denpasar, keharuman itu bercampur getir kalkulasi, seiring harga bahan banten yang kian mencekik, menguji khidmat di balik setiap sesajen.

Jelang Galungan, hari raya suci bagi umat Hindu Bali, dapur rumahnya yang biasanya riuh rendah oleh aroma masakan kini dipenuhi hitungan cermat dan helaan napas panjang.

Lapar (bahan) banten  yang menjadi jantung perayaan Galungan, kini terasa semakin berat di kantong.

Kelapa parut yang biasanya ia beli seribu rupiah kini melonjak tiga kali lipat. Janur, daun kelapa muda yang lentur dan artistik, harganya pun ikut menari mengikuti irama kenaikan kebutuhan. Bunga-bunga warna-warni, simbol keindahan dan ketulusan, tak lagi semurah dulu.

"Dulu, dengan lima puluh ribu rupiah, saya sudah bisa membuat banten sederhana untuk keluarga," tutur Wayan Sari dengan nada lirih sambil mengupas bawang merah di beranda rumahnya, Selasa (22/4/2025).

"Sekarang, seratus ribu pun rasanya kurang. Padahal, upah suami saya sebagai buruh bangunan tidak seberapa," lanjutnya.

Di pasar tradisional Badung, hiruk pikuk pembeli dan pedagang terasa lebih intens dari biasanya.

Ibu-ibu dengan keranjang anyaman di tangan menawar dengan gigih setiap ikat bunga, setiap butir kelapa.

Raut wajah mereka menyimpan harapan agar perayaan suci ini tetap bisa terlaksana dengan layak, meskipun harga-harga seolah ikut menari kegirangan menyambut hari raya.

Kenaikan harga bahan banten bukan cerita baru setiap menjelang Galungan. Permintaan yang tinggi bertemu dengan rantai distribusi yang panjang dan kadang kala spekulasi harga yang tak terkendali.

Namun, bagi Wayan Sari dan ribuan ibu rumah tangga lainnya di Bali, ini adalah ujian kesabaran dan ketahanan. Mereka adalah garda terdepan tradisi, memastikan setiap persembahan tetap terhatur dengan khidmat, meskipun harus mengencangkan ikat pinggang.

Di tengah keterbatasan, kreativitas dan gotong royong menjadi oase. Tetangga saling bertukar janur sisa, berbagi bunga dari kebun masing-masing. Semangat menyama braya persaudaraan khas Bali, kembali membuktikan kekuatannya.

Wayan Sari tak ingin mengurangi esensi banten. Baginya, setiap helai janur, setiap kuntum bunga adalah doa dan ungkapan syukur.

Ia hanya berharap, di tengah gemerlap perayaan, ada sedikit perhatian bagi mereka yang berjuang di balik layar, para ibu yang dengan peluh dan cinta kasih menyiapkan sesajian untuk hari suci.

Karena di balik megahnya banten, tersimpan cerita tentang keteguhan hati dan harapan di tengah himpitan ekonomi. (fathur)


Baca juga: NUSA DUA CIRCLE, Mega Proyek ‘Gagal’. Benarkah Perusahaan dan Orang-Orang yang Terlibat Didalamnya Juga Bermasalah? (BAG: 1)