Search

Home / Aktual / Kesehatan

Gen-Z Berani ke Psikiater, Orang Tua Masih Stigma

Editor   |    05 Juli 2025    |   11:57:00 WITA

Gen-Z Berani ke Psikiater, Orang Tua Masih Stigma
dr. Krisna Aji, Sp.KJ. (foto/angga)

DENPASAR, PODIUMNEWS.com - Generasi Z atau Gen-Z di Indonesia semakin menunjukkan kesadaran tinggi terhadap pentingnya kesehatan mental. Mereka tidak segan mencari bantuan profesional, bahkan datang sendiri ke fasilitas kesehatan pertama untuk meminta rujukan ke psikiater.

Hal ini diungkapkan oleh dr. Krisna Aji, Sp.KJ, psikiater yang berpraktik RS Bali Jimbaran, Badung, Bali.

“Saya tanya, kamu ke sini pakai apa? Pakai BPJS ya? Terus kamu ke fasilitas kesehatan pertama bilang apa? Remaja  itu bilang, ‘Saya minta dirujuk ke psikiater’. Dan orang tuanya bahkan tidak tahu,” kata dr. Krisna, pada Jumat (4/7/2025).

Fenomena ini menunjukkan bahwa generasi muda saat ini mulai terbuka membicarakan gangguan mental seperti kecemasan, depresi, hingga gangguan bipolar. Namun, meski mereka mulai sadar akan pentingnya kesehatan jiwa, banyak dari mereka yang masih harus berjuang sendirian. Salah satu tantangan terbesarnya adalah orang tua mereka sendiri.

Setelah kondisi pasien anak mulai membaik, dr. Krisna biasanya menyarankan agar mereka mengajak orang tua untuk ikut terlibat dalam proses terapi. Hasilnya bervariasi: ada yang mendukung, tetapi banyak juga yang tidak. “Masalah mental anak seringkali muncul karena warisan masalah orang tuanya yang belum selesai,” ujar dr. Krisna.

Menurutnya, banyak orang tua yang membawa trauma masa lalu dan belum menyadarinya. “Misalnya, orang tua punya cita-cita yang gagal, dendam yang belum usai, atau lahir dari keluarga broken home lalu membentuk keluarga baru tanpa menyembuhkan dirinya dulu. Akhirnya, beban itu diwariskan ke anak,” jelas alumnus Fakultas Kedokteran UNUD ini.

Trauma lintas generasi ini menjadi masalah yang sangat sering ditemui dalam praktik psikiatri. Anak yang depresi atau cemas berat kerap kali hanya menjadi manifestasi dari masalah yang lebih dalam, yaitu luka batin orang tua yang tak terselesaikan. “Anaknya depresi, kita gali, ternyata orang tuanya punya kecenderungan bipolar, atau punya pola kekerasan yang diwariskan,” lanjutnya.

Yang menarik, kesadaran Gen-Z dianggap lebih unggul dibanding generasi sebelumnya. Namun kesadaran itu, menurut dr. Krisna, masih hidup dalam "bubble" digital. “Gen-Z yang peduli biasanya karena terpapar konten mental health di media sosial. Tapi yang tidak tertarik juga hidup di bubble mereka sendiri,” ujarnya.

Di sisi lain, banyak orang tua dari generasi sebelumnya yang justru menolak berbicara tentang kesehatan mental. Bukan karena tak mampu berpikir, tetapi karena menolak mempertanyakan dirinya sendiri. “Stigma terhadap psikiater bahkan masih muncul dari kalangan dokter non-psikiater. Jadi, ini bukan soal pendidikan rendah atau tinggi, tapi soal keberanian berpikir,” tegasnya.

Banyak pula orang tua yang berdalih bahwa tindakan mereka semata-mata “demi kebaikan anak”. Namun, kata dr. Krisna, jarang ada yang benar-benar mau melihat dari sisi anak. “Kalau anak membalas, ‘Siapa yang minta dilahirkan?’, itu juga bisa jadi bentuk protes dari luka yang tak terungkap,” ucap lelaki kelahiran Yogyakarta ini.

Dalam praktiknya, dr. Krisna menggunakan pendekatan psikoterapi integratif: gabungan antara psikoanalitik, logoterapi, terapi kognitif, hingga mindfulness. Tapi yang paling penting menurutnya adalah keterlibatan keluarga dalam proses penyembuhan. Tanpa itu, luka hanya akan diwariskan kembali.

“Sebelum jadi orang tua, selesaikan dulu masalahmu,” tutup dr. Krisna. (*)

Penulis; Angga Wijaya

 

Baca juga :
  • Baru Diresmikan, NSWAC Bali Sudah Tarik 250 WNA
  • Ahli Gizi: Snack Tidak Bisa Gantikan MBG
  • Insentif Rp30 Juta Dokter Spesialis Dinilai Belum Cukup