Search

Home / Kolom / Jeda

Balasan yang Tak Pernah Terkirim

Editor   |    05 Juli 2025    |   11:27:00 WITA

Balasan yang Tak Pernah Terkirim
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

KADANG, kita bukan sibuk—hanya belum siap menjawab.

Pesan itu sudah terbaca sejak dua jam lalu. Bahkan, sejak notifikasinya muncul, kepala sudah mulai merangkai balasan: kalimat pembuka yang hangat, jeda yang tepat, dan mungkin satu dua emoji penutup agar tak terasa terlalu kaku. Tapi jari tetap diam. Layar menyala, lalu padam. Seperti hati yang belum bulat untuk bersuara.

Bukan karena lupa. Bukan juga karena tak peduli. Justru karena terlalu peduli. Kita ingin membalas dengan sungguh-sungguh. Tapi sayangnya, kesungguhan kadang butuh waktu. Butuh ruang.

Di era serba instan ini, kita dituntut tampil sebagai versi diri yang selalu siap: siap menjawab, merespons, menghibur, memberi klarifikasi. Bahkan sebelum kita sempat bertanya pada diri sendiri, “Apa aku benar-benar siap hadir dalam percakapan ini?”

Di titik itu, kita jadi ragu: antara menjadi pribadi yang cepat dan sigap, atau manusia yang jujur pada rasa sendiri. Karena setiap balasan menyimpan beban—bukan hanya kata, tapi juga makna, nada, dan pertanggungjawaban emosi.

Ada semacam rasa bersalah ketika terlambat merespons. Seolah sedang menolak, padahal kenyataannya kita hanya sedang memproses. Tapi dunia digital tak mengenal jeda. Ia hanya mengenal dua status: dibaca atau belum, balas atau diabaikan. Padahal hidup tidak bekerja dengan logika dua pilihan. Kadang kita ragu, takut salah kata. Kadang kita ingin menunggu malam sedikit sepi, agar kata-kata bisa keluar tanpa tergesa.

Blaise Pascal, filsuf Prancis abad ke-17, tidak sepenuhnya salah saat ia menulis bahwa banyak masalah manusia datang dari ketidakmampuan untuk duduk diam sendirian. Tapi mungkin ia belum membayangkan bahwa di zaman ini, duduk diam saja belum cukup. Karena saat tubuh diam, pikiran masih sibuk bertarung dengan notifikasi yang menyala diam-diam di saku celana. Sunyi yang seharusnya menyembuhkan, berubah jadi ruang bersalah.

Kita mulai menilai diri sendiri dari kecepatan membalas pesan. Kita mulai mengukur kepedulian lewat centang biru. Dan kita lupa, bahwa perhatian sejati seringkali muncul justru dari kemampuan untuk diam sejenak. Untuk tidak asal ketik. Untuk tidak asal "oke".

Lalu muncul perasaan asing: takut dianggap tak peduli. Padahal kita hanya sedang berhati-hati. Karena sekali ucapan terkirim, ia tak bisa ditarik. Dan apa pun yang diketik tanpa kesiapan, seringkali lebih melukai ketimbang menyembuhkan.

Immanuel Kant, pemikir dari Königsberg, pernah menulis bahwa keberanian berpikir sendiri adalah inti dari pencerahan. Tapi mungkin hari ini, keberanian itu juga berarti menunda balasan ketika isi hati belum jernih. Kita perlu berani menolak logika instan, dan memilih hadir dengan utuh. Bukan sekadar membalas, tapi menyapa dengan niat yang matang.

Karena pada akhirnya, membalas pesan bukan cuma soal mengetik. Tapi soal memilih waktu yang tepat untuk benar-benar hadir. Dan kehadiran—seperti semua hal yang sungguh berarti—tidak pernah lahir dari tergesa. (*)

(Menot Sukadana)

 

Baca juga :
  • Menulis yang Merawat
  • Lelah yang Tak Terucap
  • Harga Sebuah Perang