Ia bukan akademisi, bukan pejabat, tapi karyanya jadi jendela sejarah yang terlupakan. BALI sering kita kenal lewat kisah-kisah tentang kerajaan agung dan para bangsawan Hindu yang mewarnai masa lalu pulau ini. Tapi di balik narasi besar itu, ada tokoh yang bekerja dalam diam, menulis sejarah dari pinggiran tanpa sorotan: I Wayan Reken. Ia bukan sejarawan bergelar profesor, tapi dedikasinya mendokumentasikan jejak Islam di Jembrana membuatnya layak disebut salah satu sejarawan penting Bali. Reken lahir pada 17 Oktober 1921 di Sungbata, Jembrana. Saat masih bayi, keluarganya pindah ke Loloan—sebuah perkampungan tua di Kota Negara yang sejak abad ke-17 telah menjadi tempat tinggal komunitas Muslim Bugis, Makassar, dan Melayu. Di kampung inilah Reken tumbuh besar dan menyaksikan sendiri harmoni yang terjalin antara masyarakat Bali dan umat Muslim yang datang dari luar. Ia masuk sekolah dasar di Setia Hati School di Baler Bale Agung, Negara, pada 1927. Sekolah kecil itu hanya memiliki dua guru dan 18 murid. Usai tamat sekolah menengah pada 1935, Reken sempat merantau ke Banyuwangi, Jawa Timur, dan bekerja di toko milik pedagang Arab. Namun minat utamanya bukanlah berdagang—melainkan menggali dan menulis sejarah lokal yang nyaris terlupakan. Sejak muda, Reken mengoleksi cerita-cerita lisan dari para sesepuh Loloan. Ia tekun mencatat, mewawancarai tokoh masyarakat, menyalin dokumen lama, hingga akhirnya pada 1979 ia menyusun sebuah manuskrip berjudul Sejarah Perkembangan Islam di Bali, Khususnya di Jembrana. Sayangnya, naskah itu tidak langsung diterbitkan dan baru terbit pada 2023—nyaris empat dekade setelah kepergiannya pada 11 Januari 1986. Karya ini menjadi salah satu catatan paling lengkap tentang proses Islamisasi di Bali Barat. Ia menulis tentang dua gelombang besar masuknya Islam ke Jembrana. Pertama, pada abad ke-17, ketika pelaut Bugis-Makassar melarikan diri dari konflik dengan VOC. Kedua, pada abad ke-18, saat para mubalig dan bangsawan Melayu datang bersama rombongan Sultan Pontianak, Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodery. Mereka datang bukan sebagai penjajah, tetapi sebagai tamu yang kemudian menjadi mitra dagang dan pertahanan kerajaan Jembrana. Dalam catatannya, Reken menyebut bahwa Loloan telah menjadi pusat perdagangan jauh sebelum Kota Negara resmi berdiri. Rumah-rumah panggung bergaya Bugis berdiri di sepanjang sungai, dan masjid menjadi pusat pembelajaran agama sekaligus budaya. Salah satu catatan penting Reken adalah tentang pembangunan Masjid Jami’ di Loloan Timur tahun 1848. Tanahnya diwakafkan oleh Encik Ya’qub dari Trengganu dan peristiwa ini disaksikan oleh tokoh-tokoh penting Muslim seperti Syarif Abdullah dan Panglima Tahal. Papan kayu bertuliskan Arab Pegon yang mencatat peristiwa itu masih tergantung di masjid hingga hari ini. Lebih dari sekadar catatan kronologis, tulisan Reken menunjukkan betapa eratnya hubungan antara Muslim pendatang dan masyarakat Bali lokal. Ia mencatat bahwa pasukan Bugis-Makassar bahkan pernah ikut membela Jembrana dari serangan kerajaan tetangga seperti Buleleng dan Tabanan. Mereka mengenakan destar hitam, ahli menembak meriam, dan bertempur sejajar dengan pasukan Bali Hindu. Bukti bahwa akulturasi budaya sudah terjadi sejak berabad lalu. Reken menolak pandangan sempit tentang sejarah. Ia menulis, “Sejarah bukan sekadar kisah heroik, tapi tentang perjuangan untuk hidup—dari segi budaya, agama, ekonomi, maupun politik.” Baginya, Islam di Jembrana bukanlah entitas terpisah dari Bali, tetapi bagian utuh dari dinamika sejarah pulau ini. Tak hanya soal agama, Reken juga menulis soal seni, seperti Joget Janturan, perpaduan antara tari joged Bali dan pencak silat Bugis. Ia juga mencatat tentang sistem pertanian, pemerintahan desa, dan pertumbuhan komunitas Muslim di daerah-daerah seperti Cupel, Air Kuning, hingga Banyubiru. Pada awal 1985, kabarnya Reken sempat diundang untuk memberikan kuliah umum di Universitas Udayana, dan menerima penghargaan sebagai salah satu dari tiga sejarawan Bali. Meski dokumen resmi pengakuan itu belum ditemukan, peristiwa ini disebut dalam pengantar buku yang terbit 2023. Setelah Reken wafat, naskahnya nyaris hilang. Sampai akhirnya, Eka Sabara—penulis dan budayawan muda asal Loloan—bertemu keluarga almarhum dan mendapatkan izin dari putra sulung Reken, I Made Notasa, untuk menerbitkannya. Buku Sejarah Islam di Jembrana-Bali akhirnya terbit pada 2023 dan disambut hangat oleh komunitas pemerhati sejarah, termasuk Forum Pemerhati Sejarah Islam Bali. Penerbitan ini bukan sekadar menghidupkan kembali nama I Wayan Reken, tapi juga menegaskan pentingnya sejarah lokal dalam membentuk identitas Bali yang lebih utuh dan plural. Syarif Tua, salah satu tokoh yang dikutip dalam buku itu, pernah berkata bahwa perjuangan tidak selalu dengan senjata. Kadang, yang paling kuat justru datang dari pena—dari cerita yang diwariskan ke generasi berikutnya. Reken membuktikan bahwa sejarah tak harus ditulis dari menara gading. Ia menulis dari lorong kampung, dari dengar-dengaran di surau, dari napas komunitas kecil yang kadang luput dari perhatian. Tapi justru di sanalah denyut sejarah paling jujur ditemukan. Hari ini, ketika Loloan makin dikenal sebagai simbol keragaman di Bali Barat, nama I Wayan Reken pantas kita tempatkan sebagai tokoh kunci. Ia bukan hanya menulis sejarah Islam, tetap menjaga warisan pluralisme Bali dengan kesetiaan dan ketekunan yang sunyi. (*) Angga Wijaya (Penyair, Esais, dan Wartawan Lepas di Denpasar, Bali)
Baca juga :
• Sanur: Matahari Pertama Bali Modern
• “Mamak Pesu Bapak Cemburu” Kembali dengan Sentuhan Baru
• Bermain Hujan di Panggung Kebyar