ADA kesunyian yang menyimpan keteguhan. Di Banjar Saba, Penatih, Denpasar, seorang ibu bernama Ni Jero Samiarsa menjalani hidupnya dengan sederhana tapi bermakna: membesarkan sembilan anak, merawat nilai, dan menekuni peran sebagai serati banten, pekerjaan yang bagi perempuan Bali bukan hanya laku harian, tapi juga bentuk doa yang dijalani setiap hari. Ni Jero Samiarsa berpulang dalam usia 90 tahun, Kamis, 17 Juli 2025 pukul 15.00 Wita, setelah menjalani perawatan intensif selama tiga hari. Ia menghembuskan napas terakhirnya di RSUP Prof. Ngoerah, setelah tiga tahun berjuang dengan gangguan jantung, komplikasi gula, infeksi paru, dan ginjal. Tapi jauh sebelum itu, perjuangan yang lebih panjang telah ia jalani sejak tahun 1986, ketika sang suami, I Gusti Ngurah Gde Sutedja, wafat dan ia harus membesarkan sembilan anak seorang diri. Di antara sembilan anaknya, tiga orang tumbuh menjadi tokoh publik nasional dan daerah: IGN Jaya Negara sebagai Wali Kota Denpasar, I Gusti Ayu Bintang Darmawati sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2019–2024), serta I Gusti Ngurah Gede Marhaendra Jaya sebagai anggota DPRD Provinsi Bali. Namun di balik itu semua, ibu mereka tetaplah serati banten, perempuan yang merangkai janur, merajut canang, menumbuk kelapa, membagi dupa, dan menghaturkan persembahan. Ia tidak menonjol, tapi hadir setiap hari. Tidak tampil di podium, tapi membentuk jiwa pemimpin dari rumah. “Kami tahu beliau sakit, tapi tidak pernah mengeluh. Beliau selalu ingin terlihat kuat di depan anak-anaknya,” kenang Wali Kota Denpasar, IGN Jaya Negara, saat ditemui di kediamannya yang dipenuhi ratusan karangan bunga duka cita hingga ke jalan Padma. Selama puluhan tahun, Ni Jero Samiarsa menjalani hidup sebagai ibu, pekerja, pemimpin rumah tangga, dan penjaga tradisi. Ia juga membuka ruang kerja bagi delapan orang perempuan lain yang ikut membantunya membuat banten. Dalam sunyi, ia memberdayakan, menghidupi, dan menjadi suluh. Palebon untuk almarhumah akan digelar pada 4 Agustus 2025, diawali dengan nyiramang layon pada 20 Juli, Panileman pada 25 Juli, dan Ngaskara pada 2 Agustus. Serangkaian upacara itu bukan sekadar ritus, tapi penghormatan kepada perempuan yang telah menjadi pilar sebuah keluarga besar. Ni Jero Samiarsa mungkin tak dikenal publik secara luas. Namun ketulusan dan keteguhannya tercermin dalam anak-anaknya yang kini berdiri di panggung pemerintahan. Di tengah dunia yang kerap mengagungkan jabatan, beliau menunjukkan bahwa seorang ibu, bahkan dari balik dapur dan meja banten, bisa melahirkan dan membentuk pemimpin. Dan barangkali, di setiap pemimpin yang kuat, selalu ada serati banten di rumah, yang dalam diamnya, telah menyusun dunia. (sukadana)
Baca juga :
• Ngopi Bareng Gubernur: Ketika Kekuasaan Duduk di Kursi Kayu
• Kesetiaan yang Tak Bertanya, Hanya Membela
• Pidato Bung Karno Jadi Warisan Dunia