Search

Home / Khas / Politik

Kesetiaan yang Tak Bertanya, Hanya Membela

Editor   |    01 Juni 2025    |   23:22:00 WITA

Kesetiaan yang Tak Bertanya, Hanya Membela
Putri Koster membacakan puisi berjudul Sumpah Kumbakarna, Minggu (1/6/2025) di Lapang Puputan, Denpasar. (foto/fathur)

MALAM itu, Lapangan Puputan I Gusti Ngurah Made Agung diselimuti suasana sakral yang berpadu dengan gegap gempita. Ribuan pasang mata tertuju pada satu titik: panggung utama Pentas Budaya Nusantara yang menandai pembukaan Bulan Bung Karno dan peringatan Hari Lahir Pancasila, Minggu (1/6/2025).

Di tengah gemuruh tepuk tangan dan semangat kebangsaan yang menggelora, seorang perempuan bersuara dalam mantra: Ny. Putri Suastini Koster membacakan puisi berjudul Sumpah Kumbakarna.

Diiringi alunan gamelan oleh seniman muda dari SMKN 5 Denpasar, puisi karya Dhenok Kristianti itu berubah menjadi semacam sabda yang menusuk. Satu demi satu baitnya menghidupkan kembali sosok Kumbakarna: seorang raksasa dalam wiracarita Ramayana yang memilih berperang demi negerinya, meski tahu kakaknya—Raja Rahwana—berdiri di sisi yang salah.

"Salah atau benar sang Raja, negeri ini harus kita bela." Kalimat itu membelah malam seperti petir sunyi. Ia mengirimkan gema ke dada-dada yang hadir, memaksa kita merenung: tentang arti kesetiaan yang tak bertanya. Tentang nasionalisme yang bukan sekadar jargon, tapi laku hidup.

Bagi Putri Koster, puisi itu bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah seruan, semacam panggilan jiwa agar rakyat Indonesia—khususnya generasi muda—tidak kehilangan akarnya di tengah zaman yang bergeser. "Negara Kesatuan Republik Indonesia mesti kita pertahankan," ujarnya usai tampil, dengan mata berbinar dan suara bergetar.

Di antara penonton, ada yang diam menunduk, ada pula yang mengangguk-angguk. Tak sedikit yang menggenggam tangan lebih erat, seakan mengamini isi puisi itu dalam diam. Di balik pertunjukan seni yang penuh warna, terselip semangat yang sedang dihidupkan: bahwa Indonesia bukan hanya milik pemimpin, tapi milik rakyat yang memilih tetap setia, bahkan saat arah tak selalu jelas.

Kumbakarna adalah perwujudan dari dilema moral yang abadi. Ia tahu perang itu salah. Ia tahu kakaknya keliru. Tapi ketika negerinya diserang, ia memilih berdiri. Ia tidak bertanya, hanya membela. Dan lewat puisi itu, ia dihidupkan kembali—bukan di medan perang, tapi di panggung rakyat.

Bersama puisi itu, tampil pula pertunjukan musik dan tari dari berbagai daerah di Indonesia. Tri Utami dan Dewa Budjana menyanyikan Nyanyian Dharma, para siswa membawakan orasi Bung Karno, dan anak-anak difabel menari dalam irama Nusantara. Semua menjadi bagian dari satu narasi besar: Indonesia yang bhinneka tapi satu rasa.

Malam itu ditutup dengan langit yang tak hanya terang oleh lampu panggung, tapi juga oleh semangat yang menyala di dada. Sebab Sumpah Kumbakarna telah diucap kembali, tak hanya dalam puisi, tapi dalam hati setiap orang yang masih percaya bahwa membela negeri tak perlu menunggu perintah.

Ia hanya butuh satu hal: kesetiaan yang tak bertanya. (fathur/suteja)

 

Baca juga :
  • Serati Banten yang Membesarkan Pemimpin
  • Ngopi Bareng Gubernur: Ketika Kekuasaan Duduk di Kursi Kayu
  • Pidato Bung Karno Jadi Warisan Dunia