WACANA Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk membatasi satu orang hanya boleh memiliki satu akun media sosial kembali menegaskan kecenderungan kebijakan yang lebih sibuk mengatur permukaan ketimbang menyentuh akar persoalan. Ide yang lahir dengan semangat menekan penyebaran hoaks itu seakan hendak menunjukkan keberanian negara melawan arus informasi liar di dunia maya. Namun pertanyaan yang mengemuka segera: apakah benar penyebaran hoaks bisa diredam hanya dengan membatasi jumlah akun? Jawaban tegas datang dari ruang akademik. Dosen FISIP Universitas Airlangga, Titik Puji Rahayu, menegaskan bahwa penyebaran hoaks di media sosial mayoritas dilakukan oleh bot, bukan akun manusia. Kritik ini penting dicatat. Kebijakan yang menghukum manusia sementara mengabaikan mesin otomatis justru berpotensi meleset sasaran. Satu akun personal bisa saja pasif atau bahkan bermanfaat, sementara satu bot bisa memproduksi ribuan hoaks dalam sehari. Dengan logika itu, gagasan pembatasan akun terasa keliru sejak awal. Hoaks bukanlah soal berapa akun yang ada, melainkan soal seberapa cepat dan masif hoaks diproduksi serta disebarkan. Mengurangi jumlah akun tidak otomatis mengurangi kebohongan digital. Satu akun yang dikelola dengan niat buruk bisa jauh lebih berbahaya daripada seribu akun biasa yang hanya dipakai untuk menyalin kenangan keluarga atau sekadar menonton hiburan. Lebih dari itu, kepemilikan multiakun bukanlah fenomena menyimpang. Banyak orang menggunakan lebih dari satu akun untuk tujuan berbeda: satu untuk ruang profesional, satu untuk lingkaran pertemanan, satu lagi demi menjaga privasi personal. Di era digital, identitas manusia memang tidak lagi tunggal. Memaksakan satu orang hanya boleh memiliki satu akun sama saja mengabaikan keragaman fungsi yang telah menjadi kebutuhan sosial sehari-hari. Editorial ini tidak sedang menolak upaya pemerintah melawan hoaks. Justru sebaliknya, perang melawan misinformasi adalah tanggung jawab bersama. Namun kita mesti jujur melihat peta persoalan. Hoaks tidak akan berhenti dengan satu regulasi administratif. Hoaks hanya bisa dilawan dengan dua senjata utama: literasi digital masyarakat dan penguatan ekosistem media digital nasional. Literasi digital berarti membekali masyarakat kemampuan mengenali, memilah, dan mengkritisi informasi. Masyarakat yang kebal terhadap misinformasi tidak akan mudah termakan berita palsu, meski banjir hoaks datang setiap hari. Sementara itu, ekosistem media digital yang kuat akan memberi alternatif informasi yang kredibel dan sehat. Media yang dikelola dengan integritas, didukung oleh industri digital nasional yang tangguh, bisa menjadi penyeimbang derasnya arus informasi tak terkendali. Di titik ini, negara seharusnya lebih fokus menguatkan fondasi. Bukan membatasi ruang warga negara, melainkan memperluas kemampuan mereka untuk mengarungi samudra digital dengan kompas pengetahuan. Negara perlu mendorong lahirnya regulasi yang tepat sasaran: pengawasan teknologi bot, transparansi algoritma platform, serta dukungan bagi media lokal dan nasional agar mampu bertahan di tengah dominasi platform global. Sejarah sudah berulang kali mengajarkan: kebijakan yang lahir dari ketakutan lebih sering gagal melawan kenyataan. Membatasi jumlah akun hanyalah jalan pintas yang tampak sederhana, tetapi sesungguhnya menimbulkan banyak masalah baru. Kita bisa membayangkan betapa rumitnya penegakan aturan, potensi pelanggaran privasi, hingga dampak pada kebebasan berekspresi warga negara. Semua itu hanya akan menambah kegaduhan, sementara akar persoalan tetap dibiarkan tumbuh liar. Editorial ini ingin menekankan bahwa demokrasi digital tidak lahir dari larangan, melainkan dari keberanian menghadapi persoalan dengan solusi yang cerdas dan berakar pada realitas. Jika negara sungguh ingin melawan hoaks, maka perkuatlah masyarakat dengan literasi, dukung media dengan regulasi adil, dan kendalikan teknologi yang memang menjadi mesin penyebar masalah. Membatasi manusia bukan jawaban. Membekali mereka dengan pengetahuan dan pilihan sehat, itulah jalan panjang yang mungkin melelahkan, tetapi pasti lebih membuahkan hasil. Karena pada akhirnya, satu akun atau seribu akun bukanlah soal utama. Yang paling menentukan adalah apakah kita mampu membangun masyarakat yang tidak mudah diperdaya oleh kebohongan, di dunia nyata maupun dunia maya. (*)
Baca juga :
• Mitigasi Banjir Bali
• Pendidikan di Tengah Banjir
• Alarm Alam Bali