Search

Home / Aktual / Ekonomi

Pengamat UGM Nilai Tambahan Saham Freeport Tak Seimbang

Nyoman Sukadana   |    09 Oktober 2025    |   18:02:00 WITA

Pengamat UGM Nilai Tambahan Saham Freeport Tak Seimbang
Ilustrasi: Pekerja tambang memeriksa alat berat di terowongan bawah tanah, menggambarkan fase undermining yang menuntut biaya operasional tinggi dalam industri pertambangan. (podiumnews)

YOGYKARTA, PODIUMNEWS.com - Pemerintah Indonesia memastikan akan menambah kepemilikan saham di PT Freeport Indonesia sebesar 12 persen. Dengan penambahan tersebut, Indonesia akan memegang kendali hingga 63 persen saham perusahaan tambang emas dan tembaga terbesar itu. Namun, di sisi lain, kesepakatan tersebut juga disertai perpanjangan izin usaha pertambangan (IUP) Freeport hingga 2061.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, sebelumnya menyampaikan bahwa negosiasi antara pemerintah dan manajemen Freeport telah memasuki tahap final. Pemerintah mengklaim langkah ini sebagai bagian dari upaya memperkuat posisi Indonesia dalam kepemilikan industri strategis.

Namun, kebijakan tersebut menuai kritik dari kalangan akademisi. Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Fahmy Radhi, menilai bahwa penambahan saham 12 persen tidak sebanding dengan perpanjangan izin tambang selama dua dekade ke depan. Menurutnya, keuntungan yang diperoleh negara tidak akan signifikan dibanding risiko penurunan dividen akibat meningkatnya biaya operasi tambang.

“Benefit yang diterima Indonesia hanya sebatas kenaikan dividen saja. Padahal Freeport akan masuk fase undermining yang membutuhkan investasi besar dan biaya operasional tinggi, sehingga berpotensi menurunkan laba. Pada akhirnya, dividen yang diterima pemerintah bisa ikut berkurang,” ujarnya di Kampus UGM, Kamis (9/10/2025).

Ia menilai, secara ekonomi, kebijakan tersebut justru dapat merugikan negara dalam jangka panjang. Peningkatan kepemilikan saham memang memberikan posisi mayoritas, tetapi tidak otomatis menjamin peningkatan pendapatan negara dari sektor tambang. Jika beban investasi meningkat, keuntungan bisa tergerus. “Bahkan dimungkinkan pemerintah tidak akan memperoleh dividen jika Freeport mengalami rugi usaha akibat membengkaknya biaya undermining,” tambahnya.

Fahmy menilai langkah pemerintah yang mengaitkan penambahan saham dengan perpanjangan izin usaha perlu dikaji ulang. Ia menegaskan, kebijakan tersebut sebaiknya tidak dilanjutkan sebelum ada jaminan manfaat ekonomi yang jelas bagi negara. “Kondisi ini bisa berakibat biaya lebih besar dibanding benefit yang diperoleh,” tegasnya.

Lebih lanjut, Fahmy menyebut masih terbuka peluang bagi pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto untuk mengevaluasi ulang kesepakatan tersebut. Sebab, hingga kini, Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah dan Freeport belum ditandatangani. “Presiden Prabowo saya kira masih bisa membatalkan kesepakatan itu dengan pertimbangan kepentingan negara,” ujarnya.

Menurut Fahmy, arah kebijakan pengelolaan tambang strategis seperti Freeport semestinya menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan investasi jangka pendek. Ia menegaskan, setiap perjanjian yang menyangkut sumber daya alam harus diukur berdasarkan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan yang nyata bagi rakyat Indonesia.

“Negara seharusnya tidak tergesa memperpanjang izin hanya karena iming-iming penambahan saham. Yang lebih penting adalah memastikan pengelolaan sumber daya tambang tetap berdaulat dan berkeadilan,” tutupnya.

(riki/sukadana)

Baca juga :
  • Indonesia Siap Rebut Posisi Puncak Wisata Halal Dunia Tahun Depan
  • Wabup Badung Hadiri High Level Meeting dan Sosialisasi Pajak
  • Aset Tambang Ilegal Rp7 Triliun Direbut Kembali Negara