Search

Home / Aktual / Hukum

RUU Pidana Mati Gantikan Aturan Lama Tahun 1964

Nyoman Sukadana   |    10 Oktober 2025    |   05:56:00 WITA

RUU Pidana Mati Gantikan Aturan Lama Tahun 1964
Narapidana dari seluruh Indonesia kategori high risk dipindahkan ke Lapas Super Maximum Security Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. (FOTO/Ditjen PAS Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan)

JAKARTA, PODIUMNEWS.com - Pemerintah tengah menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati sebagai pembaruan terhadap aturan lama yang telah berlaku selama enam dekade. RUU ini menekankan perlindungan hak asasi manusia (HAM) bagi terpidana mati dan memastikan pelaksanaan hukuman sesuai prinsip kemanusiaan.

Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, RUU ini menggantikan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh pengadilan umum maupun militer. Aturan lama tersebut dinilai sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan hukum nasional dan prinsip HAM modern.

“Prinsip HAM ini berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia,” ujar Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy, dalam uji publik RUU tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang digelar secara daring, Rabu (8/10/2025).

Menurut Eddy, RUU ini telah disiapkan masuk dalam daftar prioritas legislasi nasional (Prolegnas) 2025 berdasarkan Keputusan DPR Nomor 23/DPR RI/I/2025-2026 tentang Perubahan Prolegnas RUU Tahun 2025–2029 dan Perubahan Kedua Prolegnas Prioritas Tahun 2025.

“Artinya, setelah pembahasan dan paraf dari kementerian serta lembaga selesai, RUU ini akan segera kami ajukan kepada Presiden bersama dengan Undang-Undang Penyesuaian Pidana,” jelas Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada tersebut.

Eddy memaparkan sejumlah pembaruan substansi yang membedakan RUU ini dari aturan lama tahun 1964, terutama dalam pengaturan hak, kewajiban, dan persyaratan bagi terpidana mati.

Untuk hak narapidana, ia menyebutkan beberapa ketentuan penting sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Antara lain, terpidana mati berhak bebas dari penggunaan alat pengekangan berlebihan, mendapatkan fasilitas hunian layak, berkomunikasi dengan keluarga atau kerabat setelah penetapan pelaksanaan pidana, serta mengajukan permintaan lokasi pelaksanaan dan tata cara penguburan.

Sementara untuk syarat pelaksanaan pidana mati, Eddy menjelaskan pelaksanaan baru dapat dilakukan setelah masa percobaan berakhir dan terpidana tidak menunjukkan sikap atau perbuatan yang terpuji. Selain itu, terpidana juga harus sudah mengajukan grasi dan grasinya ditolak serta berada dalam kondisi kesehatan yang baik.

“RUU ini tidak hanya mengatur teknis pelaksanaan, tetapi juga memberikan ruang bagi evaluasi dan pembinaan selama masa percobaan. Prinsipnya tetap pada penghormatan terhadap martabat manusia,” ujar Eddy.

Ia juga menambahkan bahwa pemerintah sedang mengkaji alternatif pelaksanaan hukuman mati selain tembak mati, seperti eksekusi dengan injeksi atau kursi listrik.

“Secara ilmiah, bisa dipertimbangkan cara yang mendatangkan kematian paling cepat, baik dengan kursi listrik, tembak mati, ataupun injeksi,” ucapnya.

Eddy menegaskan bahwa penyusunan RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati merupakan bagian dari pembaruan hukum pidana nasional yang menyeimbangkan antara aspek keadilan, kepastian hukum, dan kemanusiaan.

Pemerintah berharap, melalui pembaruan ini, pelaksanaan pidana mati di Indonesia memiliki dasar hukum yang lebih kuat, prosedural, dan selaras dengan nilai-nilai Pancasila.

(riki/sukadana)

Baca juga :
  • Maling Bobol Counter HP di Petang, Korban Tak Lapor Polisi
  • Polsek Pelabuhan Benoa Tangkap Pencuri HP di Mess ABK
  • 330 Ribu Kasus Kekerasan Gender, Difabel Perempuan Paling Rentan