DENPASAR, PODIUMNEWS.com - Gemerlap pariwisata Bali menyimpan ironi. Di balik vila-vila mewah dan hingar-bingar klub malam, generasi muda Pulau Dewata bergulat dengan kenyataan pahit: harga lahan yang melambung tinggi. Mimpi memiliki rumah di tanah kelahiran kian jauh dari jangkauan. Kadek, 44 tahun, bukan pendatang baru di Bali. Dua dekade ia mengabdikan diri di pulau ini. Namun, "Untuk membeli rumah di Kota Denpasar, mustahil," ujarnya dengan nada getir. Pria kelahiran Jakarta yang kini tinggal di Payangan, Gianyar itu terpaksa menempuh perjalanan pulang pergi setiap hari. "Gaji saya, ya, rata-rata. Tidak cukup untuk tinggal di Denpasar," katanya. Nasib serupa menghantui Dwi, 34 tahun. Ia sedikit beruntung, pernah mencicipi gurihnya ringgit di Eropa. Tabungannya cukup untuk membeli 1,5 are tanah di Badung Tengah, pinggiran Denpasar. "Tapi, itu pun jauh dari kota," ujarnya. Membangun rumah di atas lahan itu? "Masih jauh," katanya. Meski begitu, "Saya bersyukur," ujarnya, "di usia ini, masih bisa punya tanah." Bagi Dode, 24 tahun, realitas lebih pahit. Klungkung-Denpasar, 40-45 kilometer, ia tempuh setiap hari dengan sepeda motor. "Ngekos di Denpasar? Sepertiga gaji habis," ujarnya. Ia memilih menabung. "Siapa tahu, suatu hari, punya rumah sendiri," katanya, dengan nada penuh harap. Cerita mereka bukan anomali. Ini potret buram generasi muda Bali. Di tengah pariwisata yang menggurita, mereka terasing di tanah sendiri. Harga lahan, pemicu utama, meroket tak terkendali. Investor asing dan domestik berebut lahan, mengubah sawah menjadi vila, pura keluarga menjadi hotel. Alih fungsi lahan bukan sekadar urusan ekonomi. Ini erosi budaya. Tradisi luntur, identitas tergerus. Generasi muda Bali, pewaris budaya, terancam kehilangan akarnya. Pemerintah daerah dituntut bertindak. Regulasi kepemilikan lahan, alih fungsi lahan, harus diperketat. Perumahan terjangkau, prioritas utama. "Bali bukan hanya surga investor," kata seorang tokoh masyarakat, "tapi juga rumah bagi generasi muda." Masa depan Bali dipertaruhkan. Akankah suara-suara pilu ini didengar? Akankah Pulau Dewata tetap milik mereka, generasi muda Bali? (isu/suteja)
Baca juga:
Kisah Farani, Wisudawan Double Degree Pertama FH UNAIR-Maastricht University