Search

Home / Khas / Sosial Budaya

Sanur: Matahari Pertama Bali Modern

Editor   |    06 Juli 2025    |   10:49:00 WITA

Sanur: Matahari Pertama Bali Modern
Pemandangan matahari terbit di Pantai Sanur. (sumber: denpasarkota.go.id/@deck_sotto)

SEBELUM Kuta mengenal hiruk pikuk turis, sebelum Ubud dipenuhi yoga dan vila, Sanur lebih dulu menyapa dunia. Di sini, Bali pertama kali dilihat bukan sebagai tempat tinggal orang Bali, tetapi sebagai cermin imajinasi eksotis dari para pelancong, seniman, dan petualang asing.

Sanur bukan hanya tentang matahari terbit. Ia adalah matahari pertama dari sejarah panjang Bali modern.

Cinta dan Kanvas di Tepi Pantai

Pada 1932, pelukis Belgia Adrien-Jean Le Mayeur de Merprès mendarat di Bali dan menetap di Sanur. Ia terpikat pada sinar tropis dan ketenangan pesisir. Lebih dari itu, ia bertemu Ni Pollok, penari legong setempat yang kemudian menjadi istrinya dan satu-satunya model dalam sebagian besar lukisannya.

Dalam Bali: A Paradise Created, sejarawan Adrian Vickers mencatat, “Le Mayeur tidak hanya merekam tubuh perempuan Bali, ia memperkenalkan citra Bali yang sensual dan spiritual kepada Eropa” (Vickers, 2012: 112). Museum Le Mayeur yang kini berdiri di Sanur menjadi jejak abadi dari perjumpaan budaya yang penuh gairah.

Bendera Pertama dan Kedatangan yang Sunyi

Sanur juga punya peran dalam sejarah republik. Di tempat inilah, menurut catatan sejarah lokal, bendera Merah Putih pertama dikibarkan di Bali pada 17 Agustus 1945 oleh sekelompok pemuda yang mendengar berita proklamasi dari Jawa. Tidak ada upacara, tidak ada pengeras suara, hanya kain merah putih yang berkibar dan semangat yang menyala.

Tiga tahun sebelumnya, Sanur menjadi titik pendaratan pertama pasukan Jepang saat invasi ke Bali pada Februari 1942. Pantai ini menyimpan kisah sunyi tentang pendudukan, pelarian, dan perlawanan.

Hotel Tinggi dan Aturan Pohon Kelapa

Setelah kemerdekaan, geliat pariwisata kembali tumbuh. Tahun 1963, pemerintah Indonesia membangun Hotel Bali Beach di Sanur dengan dana bantuan Uni Soviet. Hotel ini menjadi bangunan bertingkat pertama dan tertinggi di Bali.

Fred B. Eiseman Jr. dalam bukunya Bali: Sekala and Niskala menulis, “Setelah Hotel Bali Beach dibangun, orang-orang Bali mulai menyadari bahwa bangunan itu terlalu tinggi. Sejak saat itu, muncul prinsip bahwa tak ada bangunan yang boleh melebihi tinggi pohon kelapa” (Eiseman, 1990: 56). Prinsip itu menjadi bagian dari kesepakatan budaya tak tertulis di Bali hingga kini.

Jean Couteau, dalam esainya Sanur, 50 Years of Change, menyebut pembangunan hotel itu sebagai “awal dari era globalisasi wisata Bali, di mana Sanur menjadi perbatasan pertama antara tradisi dan modernitas” (Couteau, 2015).

Tempat yang Tetap Tenang

Kini Sanur tetap berjalan dengan iramanya sendiri. Tidak sepadat Kuta, tidak semahal Seminyak. Jalur sepeda di tepi pantai, warung tua yang sabar, dan matahari yang muncul tepat waktu, semuanya menjaga Sanur tetap setia pada karakternya.

Ia seperti orang tua yang menyimpan banyak kenangan. Tidak banyak bicara, tapi tahu betul apa yang pernah ia lewati.

Setiap pagi, saat cahaya matahari menyentuh pasir lembut di tepi pantai, Sanur kembali mengingatkan kita. Bahwa tempat ini bukan hanya pantai, tetapi awal dari banyak hal. Ia adalah jejak, cahaya, dan ruang pulang yang tenang di tengah zaman yang tergesa.

(sukadana/suteja)

Baca juga :
  • “Mamak Pesu Bapak Cemburu” Kembali dengan Sentuhan Baru
  • Bermain Hujan di Panggung Kebyar
  • Jejak Maestro dalam Panggung PKB