Search

Home / Kolom / Opini

Selat Bali Kisah Tragedi Berulang

Editor   |    06 Juli 2025    |   11:54:00 WITA

Selat Bali Kisah Tragedi Berulang
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

SELAT Bali, sebuah jalur air sempit yang membelah Pulau Jawa dan Bali, lebih dari sekadar koridor pelayaran harian yang sibuk. Di balik permukaannya yang terkadang tenang, namun seringkali mengganas, Selat Bali menyimpan sejarah panjang insiden kapal tenggelam yang tak terhitung. Dari kapal feri pengangkut penumpang dan barang hingga alutsista militer canggih, selat ini telah menjadi saksi bisu tragedi dan menyimpan jejak bangkai kapal yang perlahan terkorosi di dasar laut.

Data historis, khususnya sejak pertengahan 1980-an hingga insiden terbaru KMP Tunu Pratama Jaya pada 2 Juli 2025, secara gamblang menunjukkan pola mengkhawatirkan yang menguak urgensi untuk memahami lebih dalam faktor-faktor penyebab dan tantangan keselamatan maritim di perairan ini.

Tragedi Berulang

Daftar kapal yang karam di Selat Bali terus bertambah, menunjukkan kerentanan yang kompleks. Insiden awal seperti tenggelamnya Kapal PLM Labalikan (Oktober 1985) akibat terjangan angin kencang dan ombak besar, serta Feri LCT Kaltim Mas II (1994) yang terbalik diterjang arus kuat dan ombak tinggi (3-4 meter), menyoroti dominasi ancaman cuaca ekstrem dan kondisi oseanografi Selat Bali yang dinamis sebagai pemicu utama.

Namun, faktor alam bukanlah satu-satunya biang keladi. Kasus KMP Kaltimas III (1994) yang tenggelam karena kebocoran, atau KMP Rafelia II (2016) yang diduga kuat mengalami kelebihan muatan dan dipengaruhi cuaca buruk, menunjukkan bahwa faktor teknis dan kelalaian manusia seringkali menjadi penentu nasib kapal dan penumpangnya. Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) dalam laporannya mengenai berbagai insiden kapal di Indonesia seringkali menggarisbawahi kegagalan pemeliharaan, manajemen operasional yang lemah, serta praktik kelebihan muatan sebagai akar masalah (KNKT, 2016).

Tren yang terlihat adalah kombinasi antara kondisi alam yang menantang dan masalah internal dalam operasional kapal. KMP Citra Mandala Bhakti (2010), yang juga pernah mengalami insiden serupa pada tahun 2000, menjadi contoh bagaimana kapal dengan riwayat masalah teknis bisa terus beroperasi hingga akhirnya menemui nasib tragis.

Kemudian, insiden memilukan KMP Yunicee (29 Juni 2021) yang karam hanya dalam lima menit saat hendak bersandar di Pelabuhan Gilimanuk akibat gelombang tinggi dan arus kuat, kembali menegaskan betapa cepatnya kondisi bisa berubah di Selat Bali dan krusialnya kesiapan kru menghadapi situasi darurat.

Insiden paling baru, tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya (2 Juli 2025) yang baru 30 menit bertolak dari Ketapang, menambah panjang daftar kecelakaan. Dugaan sementara kebocoran di ruang mesin yang menyebabkan kapal blackout dan miring menunjukkan bahwa, meskipun teknologi terus berkembang, tantangan pemeliharaan yang memadai dan pengawasan teknis yang ketat masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi industri pelayaran di Indonesia.

Ancaman bagi Kapal Militer

Tragedi di Selat Bali tidak hanya menimpa kapal sipil. Dua insiden kapal militer yang paling mengejutkan adalah tenggelamnya KRI Klewang-625 (28 September 2012) akibat kebakaran hebat karena korsleting arus pendek. Sebuah ironi mengingat kapal ini adalah prototipe kapal siluman pertama buatan Indonesia.

Yang paling mengguncang adalah hilangnya KRI Nanggala-402 (21 April 2021), kapal selam milik TNI Angkatan Laut, saat berlatih penembakan torpedo. Kapal ini ditemukan terbelah menjadi 3 bagian di kedalaman 838 meter empat hari kemudian, dengan 53 prajurit di dalamnya (KNKT, 2021).

Tragedi ini bukan hanya menjadi duka nasional tetapi juga pengingat betapa kompleksnya dinamika bawah laut di Selat Bali, yang dikenal memiliki palung-palung dalam dan arus yang tidak menentu.

Penelitian oseanografi menunjukkan Selat Bali memiliki topografi dasar laut yang curam dan kompleks, dengan variasi kedalaman yang signifikan, yang dapat mempengaruhi dinamika arus dan gelombang (Han et al., 2014). Tragedi KRI Nanggala-402 memicu diskusi luas tentang keselamatan alutsista, standar operasional, dan pentingnya pemetaan batimetri yang akurat di perairan strategis Indonesia.

Lebih dari Sekadar Kecelakaan Individu

Peristiwa-peristiwa ini bukan sekadar deretan kecelakaan terpisah, melainkan cerminan dari beberapa isu krusial yang saling terkait:

  1. Karakteristik Geografis dan Oseanografi Selat Bali: Selat ini adalah choke point dengan topografi bawah laut yang kompleks, arus pasang surut yang sangat kuat (misalnya, Arus Lintas Indonesia/ARLINDO yang melewati selat ini, membawa massa air dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia), dan seringnya terjadi upwelling yang dapat menciptakan gelombang anomali atau "gelombang mati" yang sulit diprediksi (Wyrtki, 1961). Pemahaman mendalam dan pemodelan oseanografi yang akurat tentang selat ini sangat penting untuk mitigasi risiko pelayaran.
  2. Manajemen Keselamatan Pelayaran yang Belum Optimal: Meskipun regulasi dan standar keselamatan maritim telah ditetapkan oleh otoritas seperti Kementerian Perhubungan dan Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BASARNAS), insiden berulang mengindikasikan celah dalam implementasi pengawasan teknis kapal, standar pemuatan barang, serta kesiapsiagaan dan pelatihan kru dalam menghadapi kondisi darurat.
  3. Faktor Ekonomi vs Keselamatan: Tekanan ekonomi untuk mengangkut penumpang dan barang sebanyak mungkin seringkali mengalahkan prinsip keselamatan, berujung pada praktik kelebihan muatan (overload) atau pemaksaan operasi kapal dalam kondisi cuaca buruk yang berisiko tinggi. Hal ini sering menjadi sorotan dalam studi-studi mengenai regulasi transportasi di negara berkembang (Basri, 2018).
  4. Tantangan SAR di Perairan Sulit: Tragedi KMP Yunicee dan KRI Nanggala-402 secara dramatis menunjukkan bahwa upaya pencarian dan penyelamatan di Selat Bali, terutama pada kedalaman ekstrem atau dalam kondisi cuaca buruk, sangat menantang dan membutuhkan teknologi canggih (seperti ROV, Side Scan Sonar) serta koordinasi antarlembaga yang mumpuni.

Pelajaran Abadi dari Tragedi

Sejarah kelam Selat Bali harus menjadi panduan krusial untuk masa depan pelayaran di perairan Indonesia. Investasi pada teknologi navigasi dan pemantauan cuaca yang lebih canggih, penegakan hukum yang ketat terhadap standar keselamatan kapal (termasuk pemeriksaan rutin dan sanksi tegas bagi pelanggar), serta pelatihan kru yang berkelanjutan adalah langkah-langkah esensial yang tidak bisa ditawar.

Selain itu, penelitian oseanografi mendalam mengenai karakteristik Selat Bali perlu terus digalakkan untuk memetakan potensi bahaya secara lebih akurat dan mengembangkan sistem peringatan dini yang efektif. Kolaborasi antara pemerintah, operator pelayaran, akademisi, dan masyarakat juga menjadi kunci untuk menciptakan budaya keselamatan maritim yang kuat.

Selat Bali akan terus menjadi urat nadi transportasi dan ekonomi. Namun, sudah saatnya kita memastikan bahwa setiap perjalanan di atasnya tidak lagi dibayangi oleh ancaman yang seharusnya bisa dicegah. Setiap bangkai kapal di dasar selat adalah monumen pengingat abadi akan pentingnya keselamatan, sebuah pelajaran yang tak boleh terulang dan harus terus digali untuk menjamin masa depan pelayaran yang lebih aman. (*)

Penulis: Menot Sukadana

REFERENSI

  1. KNKT. 2016. Laporan Investigasi Kecelakaan Kapal Indonesia 2010-2016.
  2. Han, W., et al. 2014. Dynamics of the Indonesian Seas. Journal of Physical Oceanography.
  3. Basri, M. 2018. Economic Pressure and Safety Regulation in Developing Maritime Transport. Indonesian Journal of Transportation.

 

Baca juga :
  • Wartawan Abal-Abal
  • Terjerat Kabel Wifi
  • Bali Terdampak Geopolitik Timur Tengah