AMBLESNYA jalan nasional di Bajera, Tabanan, tak bisa lagi dianggap sebagai kerusakan biasa. Ini bukan pertama kalinya jalur utama Bali terganggu, dan bukan pula yang terakhir. Tapi yang membuat kita patut khawatir adalah kenyataan bahwa kita belum belajar apa-apa dari gangguan-gangguan sebelumnya. Bali masih bertumpu pada satu urat nadi distribusi utama: jalur tengah Denpasar–Gilimanuk. Ketika satu titik lumpuh, seperti di KM 38+725 karena gorong-gorong tua yang jebol, seluruh sistem logistik dari barat ke timur pun tersendat. Distribusi pangan, energi, dan barang pokok terganggu. Truk antre, harga bisa melonjak, dan Bali masuk ke dalam risiko krisis logistik hanya karena satu jalur tak bisa dilewati. Pertanyaannya sederhana tapi mendesak: bagaimana mungkin sebuah provinsi strategis seperti Bali tidak memiliki jalur alternatif nasional yang siap pakai? Sekda Provinsi Bali, Dewa Made Indra, memang sudah bergerak cepat. Koordinasi dengan BBPJN, Pertamina, dan instansi lain dilakukan untuk pemulihan. Namun langkah darurat bukan solusi jangka panjang. Setiap tahun, masalah ini berulang dengan wajah berbeda: longsor, jembatan retak, banjir, atau seperti sekarang—keruntuhan gorong-gorong. Kepala BI Bali, R. Erwin Soeriaatmadja, sudah menyuarakan peringatan bahwa distribusi adalah risiko utama penyebab inflasi di Bali. Bulan Juni 2025 saja, inflasi Bali 0,44 persen, lebih tinggi dari rata-rata nasional 0,19 persen. Jika distribusi lumpuh, bukan hanya logistik terganggu, tapi daya beli, stabilitas harga, dan bahkan sektor pariwisata bisa terdampak. Penanganan sementara seperti pengalihan jalur ke utara atau mengandalkan depot Manggis dan Sanggaran hanya bisa menambal. Tapi sistemnya sendiri rapuh. Infrastruktur kita terlalu sentralistik, terlalu percaya bahwa satu jalur bisa menopang seluruh denyut ekonomi pulau ini. Publik punya hak untuk bertanya: di mana roadmap infrastruktur Bali? Mengapa belum ada skenario darurat jika jalur utama benar-benar runtuh saat puncak distribusi hari raya atau saat badai La Nina datang? Di mana peta cadangan distribusi energi, pangan, dan logistik untuk Bali yang rawan bencana dan padat kegiatan? Masalah ini tidak bisa terus ditanggapi dengan permintaan maaf dan penanganan sementara. Ini soal perencanaan jangka panjang. Soal keberanian politik untuk membangun sistem distribusi yang tangguh dan berlapis. Jika pemerintah serius dengan visi Bali sebagai pulau hijau, tangguh, dan modern, maka ketahanan logistik harus jadi fondasi. Tidak bisa dibangun dengan asumsi bahwa satu jalur akan selalu baik-baik saja. Bajera telah memberi pelajaran mahal. Jangan tunggu lumpuh total untuk menyadari bahwa Bali butuh lebih dari sekadar tambalan aspal. Ia butuh sistem. Ia butuh keberanian untuk mengubah ketergantungan menjadi ketahanan. (*)
Baca juga :
• Ganja, Legalitas, dan Batas Etika
• IPK dan Ilusi Kualitas
• BPR Pilar Lokal Nafas Ekonomi Bali