BAHAGIA itu sederhana. Refreshing bareng satu warga perumahan Gang C5 C6 (Gang Telu) Villa Mas Indah, Bekasi. Menyewa villa sederhana yang muat untuk 70 orang dengan fasilitas bersahaja kolam renang, halaman, gajebo dan meja bilyard. Dengan biaya urunan dan urunan apa saja yang bisa dibawa pun dinikmati bersama. Tanpa paksaan serta berbagi rata. Juga sediakan sejok dua jok untuk diduduki pantat warga yang tak sempat menyimpan mobil di rumah. Bahagia itu, bisa ngumpul dan ngobrol bareng. Ditemani wedang jahe buatan Bu Yazid, sembari lihat anak-anak berenang. Mumpung refreshing, anak-anak menyemburkan nafsu bermain air hingga berkali-kali. Tak peduli dingin menusuk dan menggigili badan. Ditimpali cekikik bahagia dan keciprat air dari deburan badan yang meloncat dari pinggir kolam. Juga tawa ibunya yang turut nyebur ke kolam. Seolah menumpahkan beban langkanya minyak goreng di dapur dan rutinas rumah tangga. Bahagia itu, ketika Pak Male (65), berjoged mengikuti karaoke dangdut koplo yang dinyanyikan Ibu Asep. Goyang spontannya, justru menarik ibu-ibu mengikuti goyangan Pak Male -Kami menyebutnya Kepala Suku. Awalnya malu-malu, namun menjadi flash mob tarian kebahagian ibu-ibu dan anak-anak warga Gang Telu. Ditonton bapak-bapak dan tak lupa diabadikan kamera hand phone. Tua dan kondisi hamil tak menghalangi kebersamaan flash mob riang sederhana ala Gang Telu. Bahagia itu, ketika Pak Male, Pak RT Sobari, Pak Bandono bergaya bak pemain professional, menyodok-nyodok 15 bola berwarna-warni. Berlomba memasukan bola ke lubang di setiap sudut meja bilyard. Sodokan stick yang membuat bola meloncat atau berbenturan liar kesana kemari dengan kecepatan merayap. Seringai tawa bapak-bapak yang menyodok-nyodok bola, seperti seringai senyum bayi yang lucu. Bahagia betul-tanpa beban. Seolah menyodok bola ke lubang adalah tujuan kebahagian. Walau seringnya meleset, entah kemana merayapnya bola-bola itu, tanpa sedikit pun menoleh ke lubang di pojok meja. Melahirkan derai tawa dan timpalan olokan ringan yang riang. Bahagia itu sederhana, ketika Pak Male, Mas Koko, Pak Yusuf dan keluarganya bebas dan nyaman beribadah sesuai agamanya. Pada saat senggang ngobrol bareng di depan rumah salah satu warga. Dan keluarlah kopi serta kudapan singkong untuk menemani cengkrama warga. Bahagia itu, seperti Pak Yazid, Pak Liwon, Pak Edi, Pak Male, Pak Bandono, Pak Wasgito Pak Asep juga warga lainnya yang dengan entengnya selalu membantu warga di gang dan tentu gang lainnya. Ringan tangan untuk mengerjakan apapun yang berkaitan dengan kepentingan bersama atau pribadi yang membutuhkan. Tanpa pikir dan perhitungan. Selama bisa dibantu dan dikerjakan, hayu! OK! Tak Masalah! Bahagia itu, ketika warga akrab-gayeng, tanpa memandang beda agama, suku, asal, status dan atribut sosial lainnya. Berinteraksi, bergotong royong bersama membersihkan dan atau memenuhi kebutuhan lingkungan. Bahagia adalah ketika warga satu gang,-syukur-syukur lingkup geografis yang lebih luas, GUYUB. Guyub satu gang bermula dari guyub dalam keluarga. Ya. Guyub adalah nilai kearifan lokal yang harus terus bersama kita jaga. Guyub adalah nilai yang bisa ditumbuhkembangkan di semua lingkungan. Guyub warga mampu melawan karakter individualis yang menjadi nafas kluster sosial bounded system. Sistem sosial yang didasarkan pada sesuku, seagama, sepaham. Entah dalam bentuk perumahan atau golongan eksklusif. Yang tak sama adalah orang lain, bukan bagian. Menafikan orang lain yang tak sama dengan diri atau kelompoknya. Guyub menjadi salah satu sumber kebahagiaan. Guyub adalah kearifan lokal kita yang menjadi jalan ketiga (setelah Komunisme dan Liberalisme-Kapitalisme) untuk membangun peradaban. Kearifan lokal adalah salah satu inti nilai Pancasila. Pancasila adalah jalan membangun Peradaban. Mari kita merawat dan memuliakan kearifan lokal. (ER) Oleh: Kang Marbawi, Kasubdit Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Nonformal Informal BPIP, Jakarta, Rabu, (16/02/2022). (COK/RIS/PDN)
Baca juga :
• Wartawan Abal-Abal
• Terjerat Kabel Wifi
• Bali Terdampak Geopolitik Timur Tengah