PERINGATAN keras Gubernur Bali, Wayan Koster, terhadap desa adat terkait pengelolaan sampah, bukanlah sekadar gertakan. Sanksi penundaan bantuan keuangan, insentif, hingga program khusus yang diancamkan, menunjukkan keseriusan pemerintah provinsi dalam menangani masalah krusial ini. Bali, dengan predikatnya sebagai destinasi wisata dunia, memang tak boleh kalah oleh tumpukan sampah. Target Bali bersih sampah pada Januari 2026, yang dicanangkan Gubernur, memang ambisius. Namun, tanpa ketegasan dan sanksi nyata, tujuan tersebut hanya akan menjadi mimpi. Realitas di lapangan menunjukkan, pengelolaan sampah di tingkat desa masih jauh dari ideal. Perarem (aturan desa) terkait sampah, pengangkutan terpisah, dan pengolahan sesuai jenisnya, sering kali hanya menjadi wacana. Ancaman Koster, meskipun terdengar keras, sejatinya adalah cambuk bagi desa adat untuk berbenah. Sudah saatnya desa adat, sebagai garda terdepan pelestarian budaya dan lingkungan, mengambil peran aktif dalam mengatasi masalah sampah. Jangan sampai warisan budaya dan keindahan alam Bali ternoda oleh sampah yang tak terkelola. Namun, pemerintah provinsi juga tak boleh lepas tangan. Pendampingan, sosialisasi, dan fasilitasi infrastruktur pengelolaan sampah di tingkat desa, mutlak diperlukan. Sanksi tanpa solusi, hanya akan menambah beban desa adat. Gerakan Bali Bersih Sampah, yang dicanangkan dengan meriah, harus diimbangi dengan aksi nyata di lapangan. Bukan hanya seremonial, tetapi perubahan perilaku dan sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Desa adat, dengan segala kearifan lokalnya, memiliki potensi besar untuk menjadi contoh dalam pengelolaan sampah. Asal, ada kemauan dan tindakan nyata dari semua pihak. (*)
Baca juga:
Sasar Turis Berkualitas