Search

Home / Kolom / Opini

Surga di Ujung Genangan

Nyoman Sukadana   |    13 September 2025    |   16:45:00 WITA

Surga di Ujung Genangan
Opini. (podiumnews)

 

Bali yang Dahulu Teduh

ADA masa ketika Bali dianggap pulau yang tak akan pernah dilanda banjir. Orang tua di kampung masih sering mengingatkan bagaimana pada tahun 1980-an dan 1990-an, saat televisi menyiarkan berita banjir di Jakarta, orang Bali dengan percaya diri berkata bahwa Bali tidak akan seperti itu. “Kita punya sawah, subak, hutan, dan bengang. Air tahu ke mana harus mengalir,” begitu keyakinan mereka.

Sawah kala itu masih luas, menjadi lahan serapan sekaligus lumbung pangan. Subak bekerja dengan teratur, mengalirkan air hujan dan irigasi ke sawah-sawah yang terhubung dari hulu hingga hilir. Di tengah desa, ada bengang, lahan terbuka yang sengaja dibiarkan kosong sebagai ruang resapan sekaligus ruang sosial. Sungai pun masih jernih, tidak ditutup beton, tidak penuh sampah. Hutan di Bali bagian tengah masih rimbun, dan danau tetap menjadi penyangga air.

Namun sejak awal 2000-an, pembangunan pariwisata yang masif mengubah wajah Bali. Sawah dikonversi menjadi vila, hotel, dan kafe. Subak terdesak oleh jalan, beton, dan investasi. Bengang yang dulu dianggap penting kini dianggap lahan kosong yang harus “dimanfaatkan”. Sungai dipersempit, drainase tak pernah mengikuti pertumbuhan kota, hutan ditebang untuk permukiman baru. Bali yang dulu teduh perlahan bergeser menjadi pulau yang sesak dan rapuh.

Banjir besar pada 10 September 2025 menjadi alarm yang sulit diabaikan. Hujan deras beberapa jam membuat Denpasar tergenang, pasar lumpuh, sawah terendam, dan longsor melanda Bangli. Bali kini tidak lagi berbeda dari kota-kota lain. Ironisnya, inilah peringatan yang sudah didengungkan puluhan tahun lalu oleh para ahli.

Peringatan Ilmiah yang Terabaikan

Sejumlah riset akademik sudah lama menegaskan bahwa alih fungsi lahan adalah pintu masuk kerentanan banjir di Bali. Penelitian Suardana (2004) berjudul Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan terhadap Karakteristik Banjir di DAS Badung menunjukkan bahwa antara 1992–2001, alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman meningkatkan debit puncak banjir hingga 13,46 persen dan volume banjir 11,90 persen. Angka ini bukan sekadar simulasi. Ia membuktikan bahwa perubahan kecil di hulu memberi dampak besar di hilir.

Penelitian Vitiara dkk. (2024) berjudul Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Subak terhadap Kerawanan Bencana Banjir: Studi Kasus di Desa Jatiluwih menemukan bahwa konversi sawah subak ke usaha wisata meningkatkan potensi banjir. Curah hujan tinggi yang dulu terserap sawah kini lebih banyak menjadi limpasan. Jatiluwih adalah warisan dunia UNESCO, tetapi bahkan di sana, ancaman banjir sudah nyata.

Studi Widiasih, Jayantara, dan Wisnawa (2022) dalam Pemetaan Tingkat Kerawanan Banjir di Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng memperlihatkan bagaimana urban sprawl mengurangi ruang terbuka hijau. Desa-desa yang dulunya mampu menampung air kini lebih rawan genangan. Dengan metode SIG dan AHP, riset ini menunjukkan bahwa perubahan tata guna lahan adalah faktor dominan dalam meningkatnya kerawanan banjir.

Para akademisi Bali pun sejak lama memperingatkan. Prof. Putu Rumawan Salain dari Universitas Udayana menyebut banjir di Bali bukan hanya akibat hujan deras, melainkan alih fungsi lahan yang masif. Direktur WALHI Bali, Made Krisna Dinata, menegaskan bahwa penyusutan sawah 3–6 persen di beberapa kabupaten telah memukul sistem hidrologi Bali. Kementerian Lingkungan Hidup bahkan menyebut tutupan hutan di Bali sudah sangat tipis, kurang dari 4 persen di dataran tinggi. Semua suara ini satu arah: banjir bukan sekadar fenomena alam, melainkan akumulasi kesalahan tata ruang.

Kini BMKG menambahkan lapisan peringatan baru. Musim hujan 2025/2026 diperkirakan datang lebih cepat. Bali akan mulai diguyur hujan sejak Oktober dengan puncak Januari–Februari 2026. Curah hujan di sebagian wilayah diprediksi di atas normal. Artinya, ancaman banjir dan longsor semakin nyata. Jika pola pembangunan tetap dibiarkan, maka setiap musim hujan akan selalu meninggalkan luka.

Menata Ulang Sebelum Terlambat

Bali masih punya peluang, tetapi waktunya makin sempit. Perlu ada keberanian menata ulang arah pembangunan. Tata ruang bukan sekadar dokumen, melainkan alat untuk memastikan ruang hidup tetap aman. Alih fungsi sawah harus dihentikan, terutama di kawasan Sarbagita. Sawah bukan hanya sumber pangan, melainkan reservoir alami. Data WALHI menunjukkan penyusutan sawah di Denpasar mencapai 784,67 hektare atau 6,23 persen. Angka serupa terjadi di Badung dan Gianyar. Angka itu tidak hanya statistik, tetapi penjelasan mengapa air kini meluap ke jalan-jalan.

Selain itu, sempadan sungai dan pesisir harus dikembalikan fungsinya. Banyak bangunan berdiri di jalur air, menutup alur alami yang semestinya dilepas. Drainase kota perlu diperluas, diperbaiki, dan dirawat. Persoalan sampah harus ditangani serius, sebab sebagian besar banjir di Denpasar disebabkan saluran tersumbat.

Yang tak kalah penting adalah menghidupkan kembali kearifan lokal. Bengang perlu dipertahankan sebagai ruang kosong tempat air meresap. Subak harus diperlakukan bukan sekadar simbol warisan UNESCO, tetapi sistem nyata dalam manajemen air. Wana Kerthi mengajarkan pentingnya hutan sebagai pelindung. Danu Kerthi mengingatkan agar danau tetap menjadi reservoir alami. Segara Kerthi menekankan laut sebagai muara yang harus dijaga kebersihannya.

Semua ini bukan sekadar romantisme budaya, tetapi jawaban konkret. Penelitian sudah membuktikan bahwa bila lahan dialihkan, debit banjir naik. Maka logikanya, bila kearifan lokal dipulihkan, risiko banjir bisa ditekan.

Namun semua itu hanya mungkin bila ada keberanian politik. Pemerintah harus berani melakukan moratorium pembangunan di kawasan rawan, berani menindak pelanggaran tata ruang, dan berani menempatkan keselamatan warga di atas kepentingan jangka pendek. Dunia usaha juga harus bertanggung jawab, tidak lagi sekadar mengejar profit tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan. Dan masyarakat Bali sendiri perlu menghidupkan kembali semangat ngayah, membersihkan saluran air, menjaga lingkungan bersama, dan menolak proyek yang merusak keseimbangan.

Banjir 10 September 2025 harus dipandang sebagai peringatan keras. Jika kita menganggapnya sekadar musibah biasa, maka dalam 10–20 tahun ke depan, Bali bisa menghadapi krisis ekologis yang lebih parah. Surga ini bisa berakhir di ujung genangan, bukan karena kutukan, tetapi karena pilihan kita sendiri.

Bali masih bisa diselamatkan. Tetapi itu hanya akan terjadi bila kita kembali pada prinsip sederhana: jangan melawan air, beri ia ruang. Leluhur sudah memberi pedoman, para ahli sudah memberi data, dan alam sudah memberi tanda. Tugas kita hanya satu: mendengar dan bertindak. (*)

Oleh: Menot Sukadana (Jurnalis tinggal di Denpasar, Bali)

Baca juga :
  • Permainan Atensi
  • Belajar dari Krisis
  • Influencer Perlu Sertifikasi?